Solidaritas Bersyarat: Merefleksikan Karakter Transpuan dari ‘Bid’ah Cinta’ di Pride Month

Setiap tahun di bulan Juni, dunia beramai-ramai merayakan Pride Month. Selain sebuah perayaan eksistensi dan perjuangan hak LGBTQ+, momen Pride juga pas untuk menyorot bentuk-bentuk ketidakadilan yang masih bertahan.
Di tengah berbagai kampanye kesetaraan dan ekspresi diri, Pride juga menjadi cermin untuk menguji kembali makna solidaritas yang sering kita klaim miliki. Bagi saya, salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan meneropong kembali representasi queer dalam budaya populer lokal. Salah satunya hadir lewat Sandra, karakter transpuan muslim-berhijab diperankan mendiang Ade Firman dalam Bid’ah Cinta (2017). Dalam film karya Nurman Hakim ini, Sandra memang karakter minor, tapi kehadirannya patut dicatat dalam sejarah budaya populer merekam karakter queer.
Baca juga: 5 Film BL dengan Happy Ending: Alternatif Melawan ‘Bury Your Gays Trope’
Bid’ah Cinta, pada permukaannya, menyoroti perpecahan mazhab keagamaan dalam masyarakat muslim di sebuah kampung. Kamal (Dimas Aditya), pemuda dari keluarga puritan, memacari Khalida (Ayushita), yang berasal dari keluarga penganut Islam tradisionalis. Konflik utama berkutat pada ketegangan ritual, otoritas moral, dan tafsir keislaman.
Namun di sela cerita cinta dan benturan keyakinan itu, muncullah Sandra (diperankan mendiang Ade Firman Hakim), penyewa kamar kontrakan milik ayah Khalida, Haji Rohili (Fuad Idris).
Dalam salah satu adegan klimaks, Sandra diusir dari saf perempuan saat tengah salat. Haji Rohili marah dan membela Sandra. Ia menegaskan bahwa Sandra berhak beribadah sesuai kenyamanannya.
Di hadapan jamaah masjid yang mengusir Sandra, Haji Rohili berseru: “Dia itu udah ngerasa perempuan. Pakaiannya pakaian perempuan. Ya mana nyaman dia kalau solat di saf laki-laki?” Perkataan itu terasa progresif dan mengejutkan, terutama karena hadir dalam film bertema Islami.
Namun, dahi saya seketika berkernyit saat di tengah argumen berapi-apinya itu, Haji Rohili menyelipkan statement yang cukup membukakan mata: “Ya emang kita nggak ada yang mau anak kita jadi kayak Sandra, tapi…”
Di sinilah Bid’ah Cinta secara subtil membongkar sesuatu yang sangat dekat dengan kenyataan, yakni bentuk solidaritas bersyarat atau conditional allyship. Haji Rohili bersedia membela hak Sandra, tapi hanya sampai batas tertentu: Selama Sandra tetap ‘orang lain’. Ucapan itu mengandung pesan implisit bahwa keberadaan queer masih dianggap sebagai penyimpangan yang tak diinginkan, terlebih jika menyentuh wilayah privat seperti keluarga. Solidaritas seperti ini, sayangnya, bukan pengecualian. Ia adalah pola yang terus berulang, baik di kehidupan sehari-hari, di media sosial, bahkan di ruang-ruang yang mengklaim dirinya inklusif dan progresif.
Baca juga: Feminis Bercerita, demi Industri Film yang Inklusif
Sebagaimana dicatat oleh Sarah Schulman dalam Conflict Is Not Abuse (2016), solidaritas sejati menuntut keterlibatan dalam konflik. Ia bukan sekadar bentuk perlindungan pasif yang aman secara sosial, tapi memerlukan keberanian untuk melawan norma yang menindas, bahkan jika itu berarti berbenturan dengan keluarga sendiri, institusi keagamaan, atau nilai-nilai yang telah lama dianggap sakral.
Dengan kata lain, membela queer bukan hanya membela hak mereka untuk ‘ada’, tapi juga hak mereka untuk hadir dalam kehidupan kita, tanpa syarat.
Solidaritas Palsu dan Trope ‘Gay Best Friend’
Fenomena Haji Rohili bukan sekadar problem karakter fiksi. Ia mencerminkan kondisi sosial yang sangat nyata. Ragam percakapan seperti ini kerap saya dengar dari berbagai lingkar pertemanan: “Gue nggak ada masalah kok sama gay, asal mereka nggak ganggu” atau “Teman-teman gue banyak kok yang gay. Tapi kalau adik gue ternyata gay, bingung juga sih…”
Di permukaan, pernyataan semacam itu terdengar toleran. Tapi jika dikulik lebih dalam, justru memperlihatkan bahwa keberadaan queer masih dianggap sebagai other—yang boleh hadir, asal tidak terlalu dekat.
Bentuk dukungan seperti ini dibedah secara mendalam oleh J.H. Stephenson dalam Privilege and Performative Allyship Within Organizations. Dalam dunia yang semakin sadar akan isu keadilan sosial, menjadi sekutu (ally) terhadap kelompok tertindas kini bisa menjadi identitas moral baru—bahkan komoditas sosial. Individu bahkan perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba menunjukkan dukungan, mengenakan atribut pelangi, menambahkan “she/they” dan pronouns lain mereka di bio media sosial, atau memajang foto bareng teman queer. Tapi dukungan itu sering berhenti di permukaan. Ia tidak disertai dengan keberanian untuk menantang sistem yang menindas, atau menolak kenyamanan yang berasal dari posisi mayoritas.
Baca juga: Hasrat Blak-blakan Lesbian: Kejayaan Penyanyi dan Lagu Sapphic yang Lama Ditunggu
Salah satu bentuk performativitas ini bisa kita lihat dalam trope gay best friend yang sering muncul di sinema maupun pergaulan urban. Karakter gay (biasanya flamboyan, jenaka, dan berpenampilan stylish) dijadikan sidekick yang memperkuat citra karakter utama sebagai progresif.
Dalam kehidupan nyata, fenomena ini menjelma dalam bentuk pengakuan seperti, “Gue punya sahabat gay lho.” Seolah-olah itu cukup untuk membuktikan bahwa seseorang tidak homofobik. Tapi saat isu pernikahan sesama jenis muncul, atau ketika anaknya mulai menunjukkan ekspresi gender yang berbeda, batas dukungan itu langsung terkuak.
Inilah yang disebut oleh Pietri, Moser, dan Derricks dalam A Framework For Understanding Effective Allyship (2024) sebagai selective inclusion: Bentuk dukungan yang sangat tergantung pada konteks dan peran sosial. Individu queer bisa diterima dalam peran tertentu (teman lucu, stylist, entertainer), tapi tidak diterima dalam relasi yang setara (pasangan, menantu, atau anggota keluarga). Ia menunjukkan bahwa sistem nilai yang berlaku tetap cisheteronormatif: Queer hanya boleh ada jika tidak mengganggu struktur utama.
Dalam konteks Bid’ah Cinta, Sandra adalah representasi dari queer yang “baik” di mata masyarakat. Ia religius, tidak mengubah penampilannya secara drastis, dan hidup dalam batas-batas nyaman bagi komunitas sekitar. Tapi bahkan dalam keadaan sejinak itu pun, kehadirannya tetap ditolak jika masuk ke ranah personal. Maka, bagaimana jika queer itu lebih vokal, lebih ekspresif, atau secara terbuka mencintai sesama jenis? Apakah solidaritas akan tetap ada?
Refleksi ini penting kita bawa ke dalam Pride Month. Alih-alih sekadar ikut kampanye atau me-repost unggahan bernada solider, kita perlu bertanya: Sejauh mana dukungan kita terhadap komunitas queer? Apakah kita sungguh-sungguh mendukung, atau hanya mentolerir selama tidak mengganggu norma-norma yang ada?
Bentuk allyship sejati, menurut Schulman, menuntut kita ikut bertarung—dalam diskusi keluarga, di meja makan, dalam ruang ibadah, bahkan di dalam hati kita sendiri. Allyship harus mau menggugat kenyamanan. Ia bukan pengakuan personal, tapi komitmen publik. Jika kita benar-benar percaya bahwa queer adalah bagian sah dari keberagaman manusia, maka kita tidak bisa hanya berkata, “Aku mendukungmu, asal jangan jadi bagian dari keluargaku.”
Bid’ah Cinta mungkin bukan film tentang queer. Tapi melalui Sandra, ia memperlihatkan dengan jelas bahwa perjuangan LGBTQ+ bukan hanya tentang hak legal atau pengakuan formal. Ini adalah perjuangan untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat secara utuh; di dalam rumah, dalam masjid, dalam keluarga. Dan jika kita masih menarik batas di situ, mungkin kita belum benar-benar menjadi sekutu.
