July 14, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

Pembubaran Retret di Sukabumi: Alarm Darurat Intoleransi Jawa Barat 

Dalam sebulan, dua pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Jawa Barat. Negara gagal memberi perlindungan kepada warganya.

  • July 1, 2025
  • 5 min read
  • 1477 Views
Pembubaran Retret di Sukabumi: Alarm Darurat Intoleransi Jawa Barat 

*Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung unsur kekerasan dalam kebebasan beragama dan deskripsi peristiwa yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian pembaca. 

Peristiwa intoleransi terjadi di Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Sekelompok orang merusak rumah singgah yang diduga dijadikan rumah ibadah.  

Berdasarkan video di akun Instagram @sukabumi_satu pada (27/6), terlihat sekelompok orang menurunkan kayu salib sambil berteriak-teriak. Mereka juga menghancurkan fasilitas rumah seperti kaca, meja, dan kursi.  

Di keterangan unggahan, Ketua RT setempat bilang, tindakan pengrusakan adalah bentuk demo warga sekitar secara spontan. Ia mengeklaim kegiatan keagamaan tersebut dilakukan di tempat yang bukan peruntukannya, terutama di lingkungan masyarakat. 

“Rumah ini sudah tiga kali digunakan untuk melakukan ibadat misa, pernah saat misa beberapa waktu yang lalu sampai ada 23 mobil serta menggunakan bis dan hal itu sebelumnya pernah dilakukan peneguran, bahkan sudah melarang dan menolak agar tempat ini tidak digunakan untuk sarana peribadatan,” tuturnya, dikutip dari Sukabumi Satu

Merespons peristiwa ini, Kapolsek Cidahu AKP Endang Slamet, menyampaikan rumah singgah tidak boleh dijadikan tempat ibadah. 

“Tujuan utama kami adalah memastikan rumah singgah ini digunakan sesuai peruntukannya. Jangan sampai dijadikan tempat ibadah karena bisa menimbulkan kegaduhan di masyarakat,” ucapnya dikutip dari Sukabumi Update

Baca Juga: Dari Padamkan Api Neraka hingga Beri Syafaat, Bagaimana Agama Terus Jadi Candu 

Bukan Rumah Ibadah tapi Retret Pelajar 

Menanggapi peristiwa ini, Rita Muljartono, salah seorang saksi yang mengikuti kegiatan menyebut, kegiatan itu adalah retret pelajar Kristen. Retret tersebut diikuti oleh remaja dan anak-anak dalam rangka libur sekolah. Ia menepis rumor pembangunan gereja di Desa Tangkil.  

“Dan perlu diketahui bahwa kami tidak ada membangun gereja, ya, karena tempat itu adalah villa pribadi dan pemilik adalah kenalan kami,” tutur Rita lewat akun Instagram @ritamuljartono pada Minggu (29/6) 

Berdasarkan kesaksian Rita, kejadian pembubaran terjadi saat sesi games sedang berlangsung. “Tiba-tiba kami mendengar suara keramaian di pagar. Orang gedor-gedor pagar, orang berteriak-teriak, dan pada saat itu kami sangat kaget,” kisah Rita. 

Rita bercerita, banyak batu-batu dilempar kepada peserta. Sekelompok orang datang dan mengatakan bahwa peserta retret harus keluar saat itu juga. Berusaha tenang, Rita dan pendamping retret lainnya mencoba untuk mengevakuasi anak-anak peserta retret keluar dari rumah singgah. Mereka pun terpaksa meninggalkan tas, pakaian, dan peralatan mereka. 

Ketika para peserta  retret ingin pergi, mobil mereka dipukul, ditendang, dilempar batu, dan digores. 

“Kejadian ini sungguh membuat trauma bagi kami, khususnya bagi anak-anak, di mana mereka mengalami langsung, melihat langsung, di mana kegiatan ini bisa berlangsung dengan damai, tapi terusik dan berakhir dengan kekerasan,” tutur Rita. 

Mengutip Tempo, merespons peristiwa ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut saat ini polisi sudah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka penyerangan dan pembubaran kegiatan retret tersebut. Dedi berjanji proses hukum atas kasus ini akan terus berjalan. Ia juga meminta masyarakat untuk kembali hidup tenang, tentram, dan saling menghargai perbedaan.  

“Salam untuk semuanya, mari kita jaga negara ini dengan spirit toleransi, menghormati kebebasan beragama dalam setiap kehidupan kita,” kata dia, mengutip Tempo

Baca Juga: ‘Muslimah Bukan Agen Moral’: Menyoal Praktik Beragama yang Dangkal 

GAMKI: Pembubaran Retret Bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi 

Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) mengecam pembubaran paksa kegiatan retret pelajar Kristen di Desa Tangkil. Menurut mereka, tindakan tersebut adalah bentuk nyata intoleransi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), serta prinsip hidup dalam keberagaman di Indonesia. 

“Dalam Undang-Undang Dasar 1945, jaminan terhadap kebebasan beragama dan beribadah sangat jelas. Tidak boleh ada yang melarang seseorang menjalankan keyakinannya, apalagi di rumah sendiri,” tulis Ketua DPC GAMKI Bolaang Mongondow Stovian Gedoan di rilis pers, (30/6). 

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) GAMKI Jawa Barat Andreas Simanjuntak mengkritisi pernyataan Kapolsek Cidahu AKP Endang Slamet, yang menyatakan secara terbuka bahwa rumah singgah tidak dapat digunakan untuk ibadah. Ia menekankan Pasal 29 UUD 1945 telah menjamin kebebasan beribadah bagi setiap warga negara.  

“Yang mengatur dan memberikan kebebasan beribadah itu UUD, bukan Kepolisian atau oknum Kapolsek Cidahu,” ucapnya, di rilis pers. 

GAMKI juga meminta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk memberikan perlindungan yang substantif kepada korban pembubaran paksa. 

Selain itu, mereka pun menuntut Kepolisian Resor Sukabumi dan Pemerintah Daerah untuk melakukan investigasi menyeluruh, menindak tegas pelaku, dan menjamin keamanan dan kebebasan umat beragama di seluruh wilayah Republik Indonesia. 

Baca Juga: Penggundulan Siswa Berjilbab di Lamongan: Pelanggaran HAM Berbalut Narasi Agama 

Jawa Barat Darurat Intoleransi 

Pembubaran retret bukan kasus intoleransi pertama di Jawa Barat dalam sebulan terakhir. Di awal Juni lalu, terjadi penyegelan Masjid Istiqamah milik jemaat Ahmadiyah di Kota Banjar, Jawa Barat, oleh pemerintah kota setempat. 

Penyegelan itu didasarkan pada Peraturan Walikota Banjar Nomor 10 Tahun 2011 tentang pembekuan aktivitas Jemaat Ahmadiyah, yang mengacu pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 dan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008. Kebijakan-kebijakan ini telah lama dikritik sebagai bentuk legalisasi diskriminasi terhadap kelompok keagamaan tertentu. 

Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tertinggi di Indonesia. Laporan Setara Institute pada 2023 mencatat, terdapat 47 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di provinsi ini, meningkat dari tahun sebelumnya. Angka tersebut menempatkan Jawa Barat di posisi pertama, mengungguli Jawa Timur (29 kasus), DKI Jakarta (19), Sumatera Utara (17), Jawa Tengah (14), dan Sulawesi Selatan (11). 

Padahal, konstitusi Indonesia melalui Pasal 29 UUD 1945 dengan jelas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Namun, dalam praktiknya, jaminan ini kerap digerus oleh aturan diskriminatif dan pembiaran terhadap aksi-aksi intoleran.  

Rita Muljartono, menyampaikan harapannya agar masyarakat Indonesia dapat kembali pada semangat saling menghormati dalam keberagaman.  

“Kami percaya setiap perbedaan untuk tidak saling menyakiti, tapi kita saling menghormati, saling menghargai satu dengan yang lain. Mari kita saling menghargai, mari kita saling membangun persaudaraan di antara kita, tanpa membandingkan, tanpa membedakan latar belakang, keyakinan, atau perbedaan lainnya.” pungkasnya dalam unggahan video. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.