Korean Wave

Sabtu Bersama Film Korut: Cerita Cinta Antara Aku, Kamu, dan Kim Jong-un

Walaupun mengangkat drama romantis dan slice of life, film Korea Utara (Korut) sarat propaganda dengan teknik sinematografi jelek bak film 1980-an.

Avatar
  • November 11, 2021
  • 8 min read
  • 751 Views
Sabtu Bersama Film Korut: Cerita Cinta Antara Aku, Kamu, dan Kim Jong-un

Kalau mengetik Korea Utara atau North Korea di Youtube, sebagian besar yang muncul adalah video dokumenter ‘liburan’ yang scratch the itch, soal pengalaman tinggal di Hermit Kingdom. Pilihan tontonan memang banyak, tapi ceritanya mentok saja di ibu kota Pyongyang. Paling utama, sih, menjenguk Monumen Mansu Hill dengan patung perunggu Kim Il-sung dan Kim Jong-il setinggi 22 meter untuk menghormati negara.

Tentu saja pelancong atau jurnalis yang mendokumentasikan hal itu diawasi ketat. Karenanya, mereka enggak bisa macam-macam. Kalau merekam atau memotret sesuatu yang tidak diizinkan, siap-siap saja dihapus paksa. Sssttt, jangan sampai tidak sengaja menangkap sesuatu yang bisa membocorkan rahasia negara buat perang nuklir.

 

 

Tontonan yang paling seru datang dari Youtuber Jaka Parker, orang Indonesia yang konon tinggal di Pyongyang bersama keluarganya. Dalam videonya, dia merekam kegiatan sehari-hari dengan kamera yang diselundupkan secara diam-diam. Mulai dari street food, cara sewa CD kartun buat ditonton di rumah, supermarket, sampai kedai fast food. Videonya candid, tidak dalam pengawasan, dan memang menunjukkan kalau orang Korut sama saja dengan kita semua. Saya penasaran, bagaimana kabar dia sekarang? Apakah aman-aman saja?

Selain Jaka parker, karya video jurnalistik sekaligus komedi dari Vice, North Korean Labor Camps, yang terbagi atas tujuh bagian tidak kalah seru. Bayangkan film Mr.Bean Holiday, tapi ganti latarnya jadi pedalaman dan hutan di Siberia. Pemainnya, jurnalis dari Kanada, preman Siberia, penerjemah dari Korea Selatan, dan jurnalis Rusia yang ‘hobinya’ diinterogasi pemerintah mencari pekerja Korut yang ‘diisolasi’ dan ‘perbudak’ untuk memberi uang pada negara.

Meski demikian, semua konten itu dilihat dari sudut pandang orang luar. Saya ingin melihat konten yang bukan dokumenter dan memang film tentang dan dari Korut. Saya tahu Korut punya karya sinema, pasalnya Kim Jong-il seorang cinephile yang pernah menculik sutradara Korsel Shin Sang-ok dan aktris Choi Eun-hee kemudian menyuruh mereka membuat film.

Saya pun menemukan beberapa film karya anak bangsa Republik Rakyat Demokratis Korea di Youtube. Sebenarnya menonton film di Youtube enggak etis karena tidak menghargai jerih payah si pembuat film. Namun, apakah itu masih bisa dibilang pembajakan kalau yang mengunggah filmnya kanal bernama DPRK Cinema?

Keabsahan kanal itu punya Korut memang masih harus diverifikasi atau tabayyun. Akan tetapi, rasanya berat membiarkan kesempatan nonton film Korut terbang begitu saja. Dengan rasa bersalah ingin menonton film secara ilegal, saya memanggil Elma, produser podcast Magdalene untuk berbagi dosa.

Saya pun memilih tiga film dengan tema slice of life dan romansa, On The Green Carpet, A Schoolgirl’s Diary, dan The Story of Our Home. Alasannya, saya ingin melihat bagaimana sih Hermit Kingdom mengemas cerita yang bikin hati berdebar dan merenung tentang arti kehidupan. Pasalnya, saudara ‘kembarnya’ Korsel selalu sukses dengan cerita semacam itu.

Selain itu, sebenarnya ingin melihat cara Korut membungkus propaganda dalam ‘produk budaya populer’ negaranya. Apakah mereka akan terus hormat pada bendera atau tidak. Kalau pengen tahu lebih dalam, berikut ulasannya:

On The Green Carpet (2001)

Mau dimana pun pertanyaan “kapan menikah?” selalu ada, On The Green Carpet menceritakan tentang itu. Film dari Korut ini disebut sebagai film drama romantis, tapi setelah menonton sebenarnya bukan cerita cinta antara aku dan kamu, tapi aku, kamu, dan Supreme Leader, Kim Jong-il.

Alih-alih fokus pada kisah romantis, seperti Crash Landing On You, dua karakter utamanya hanya latar belakang untuk persiapan Mass Games, semacam perayaan senam besar-besaran Hari Buruh. Kisah cintanya yang hanya tempelan dan memiliki porsi sangat sedikit juga semakin “cantik” dengan kualitas gambar yang tertinggal dua dekade meski rilis tahun 2000-an.

O Mun-gyu adalah laki-laki muda pelatih olahraga senam untuk anak-anak di Mass Games. Ia lalu bertemu dengan teman lamanya Ra Hyon-hui yang menjabat sebagai Wakil Direktur untuk produksi olahraga senam. Cinta pun mulai tumbuh di antara mereka, tapi keduanya kelewat malu-malu kucing. Sikap malu-malu itu bukan konflik utama, tapi cara agar anak-anak itu bisa pivot belakang yang sangat sulit.

Mereka sebenarnya lelah dan bingung cara menyelesaikan masalah tersebut, Hari Buruh sudah dekat tapi anak-anak masih belum sinkron melakukannya. Padahal gerakan itu adalah simbolisme cinta akan pemimpin negara. O Mun-gyu pun sempat putus asa dan dibujuk kembali oleh anak didiknya dengan lagu bak film Bollywood.

Sumber: YouTube

Sementara Ra Hyon-hui, galau soal hubungannya dengan O Mun-gyu karena dia adalah bawahannya. Ra Hyon-hui juga patah hati ketika menyangka lelaki yang bisa jadi suaminya menyebar undangan pernikahan. Namun, itu hanya kesalahpahaman. Mereka pun bisa memandang satu sama lain dengan penuh cinta, tapi di setiap pasangan ada orang ketiga. Bukan Jin atau setan, tapi negara dan partai. Mottonya: Aku cinta kamu, tapi Kim Jong-il dan Kim Jong-un nomor satu.

Lupakan skinship sampai adegan ciuman, seperti di K-drama. O Mun-gyu dan Ra Hyon-hui tidak akan skinship karena belum halal. Meski demikian film ini mengajarkan saya, di Korut perempuan bisa jadi pemimpin. Lagipula kenapa harus menyisihkan perempuan kalau mereka juga bisa bekerja untuk ketahanan negara.

Rating: O Mun-gyu mirip Andy Lau versi muda/lima bintang

A Schoolgirl’s Diary (2007)

Bisa dibilang film dari Korut ini yang paling ‘bermutu’ dari segi penarasian cerita dibanding yang lainnya. Walaupun kualitas gambarnya masih sangat jelek, dia bisa menceritakan remaja perempuan yang punya daddy issues di Korut dengan ciamik. Soo-ryun lelah hidup miskin di antara temannya yang kaya dan tinggal di apartemen, simbol status sosial tinggi. Segala kemalangan itu disebabkan oleh ayahnya, seorang peneliti, yang menolak apartemen pemberian negara karena mending hidup miskin dibanding tidak memberikan penelitian yang bisa membantu negara secara maksimal.

Soo-ryun yang menunjukkan kecintaan hal-hal duniawi di atas negara menjadi semacam wajah yang seharusnya tidak ditunjukkan di Korut. Selain itu, ia juga menilai ayahnya tidak becus dalam melindungi dan menyayangi keluarga karena jarang pulang. Tidak heran ada kabar filmnya di banned.

Bisa dibilang film ini kritik atas kapitalisme yang ditunjukkan lewat Soo-ryun. Lupakan Parasite atau Squid Game, Korut punya A Schoolgirl’s Diary.

Butuh waktu yang lama sampai Soo-ryun mulai paham kenapa ayahnya menolak hal-hal duniawi, tentu saja karena berbakti pada negara nomor satu. Namun sebelum mencapai titik itu, dia harus dibuat menangis dan sedih karena miskin sepanjang film. Tapi tenang, negara bisa menghapuskan keraguan atas status sosial dan mengajarkan cara menghargai ayahnya dan semakin cinta pada Kim Jong-il.

Sebenarnya film dari Korut ini bisa bersanding dengan A House of Hummingbird kalau menyoal anak perempuan dan keluarganya. Sayangnya, akting kaku, alur dan adegan yang suka tidak jelas, dan dialog yang tidak natural membuat film ini terasa sangat panjang padahal cuma lebih satu jam. Namun, aspek propaganda yang diceritakan tipis-tipis membuat film ini lebih asik dan tidak cringe layaknya dua film lainnya yang saya tonton. Belum lagi saudaranya, Soo-ok, butchy Korut sekaligus atlet sepak bola bisa masuk daftar girl crush.

Rating: Daddy issues disembuhkan negara/lima bintang.

The Story of Our Home (2016)

Un-jong, Un-hyang, dan Un-chol adalah tiga anak yatim piatu. Sebagai anak paling tua (sebenarnya ada kakak laki-laki yang sedang wamil), Un-jung berusia 14 tahun merasa tugasnya untuk menjaga dan mengurus adik-adiknya. Kemudian muncul Ri Jong-a, remaja 16 tahun yang ingin menjadi ibu pengganti ketiga anak yatim itu. Padahal dia bukan kerabat sama-sekali, dia hanya kelewat altruistis. Un-jong pun dibuat kesal karena dia tidak ingin dikasihani. Ri Jong-a dan Un-jong pun memiliki hubungan tarik ulur dan sering berkonflik. 

Namun, ketika Un-jong mulai ‘menerima’ Ri Jong-a, film mendadak jadi bernuansa lesbian. Sebuah adegan back hug membuat film ini sangat queer coded. Kalau dibahasakan seperti, orang yang bisa dicintai sebatas punggungnya saja. Karenanya, Ri Jong-a yang kepingin jadi ibu untuk Un-jong menjadi semacam pseudo-oedipus complex. Sigmund Freud pun bersorak. 

Sumber: Explore DPRK

Sebenarnya saya sulit memetik pesan dari film kecuali: Negara Korut baik sekali pada anak yatim. Enggak tanggung-tanggung, Sekretaris Utama Partai Pekerja Korea langsung turun tangan membantu Un-jong. Supreme Leader pun andil dalam kebaikan itu. Dalam sebuah adegan Ri Jong-a bahkan bertemu sang pemimpin (tapi tidak disyuting).

“Apakah benar kamu bertemu dengan pemimpin kita, Nak?” tanya seorang ibu. Ri Jong-a pun hanya bisa menangis telah diberikan penghargaan tertinggi, gelar mother-child negara karena membantu anak yatim.

Sebenarnya film ini punya alur yang tidak jelas. Belum lagi sinematografinya yang sangat murahan. Transisi kilas balik disertai dengan animasi yang berkilau-kilau dan harus ada freeze frame jika mengingat wajah seseorang. Aktingnya yang kaku hanya boleh menunjukkan emosi: senang, menangis, kecewa, dan cinta negara. Satu adegan bahkan menunjukkan mereka melambai-lambai tidak jelas pada bendera Korut di hari yang agak mendung dengan tawa yang dipaksakan.

Segala hal itu diamplifikasi dengan kualitas gambar rendah, layaknya film 1970 sampai 1980-an, padahal dibuat sekitar lima tahun lalu. Rating untuk The Story of Our Home: Hadiah utama Pyongyang Film Festival/lima bintang.

Sejujurnya saya tidak berharap lebih ketiga film itu bebas propaganda, namanya juga Korut semua harus ada aspek mencintai hebatnya keluarga Kim si penyelamat. Yah, memang film tersebut butuh dipermak habis-habisan biar kualitasnya seperti karya blockbuster di bioskop. Tapi, rasanya sulit direalisasikan di negara yang belum mengizinkan masyarakatnya menikmati kebebasan berkarya.

Bisa dibilang setelah menonton ini saja juga mabok propaganda sampai ingin meneriakkan lirik lagu parodi yang saya temukan di Youtube:

“Kim Jong-un, we all love Kim Jong-un!”

Sumber: Hollywood Reporter

Artikel yang pertama kali terbit pada 11 November ini direvisi pada 14 November di bagian kesimpulan dan alasan mengapa memilih menonton sederet judul film di atas.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *