Issues

Suami Larang Istri Pakai Kontrasepsi: Bukti Tubuh Perempuan Bukan Milik Sendiri

Agama sering jadi alasan suami melarang istri menggunakan kontrasepsi. Ini bukti lain bahwa perempuan belum sepenuhnya punya otoritas atas tubuh dan hak reproduksi.

Avatar
  • June 2, 2023
  • 7 min read
  • 890 Views
Suami Larang Istri Pakai Kontrasepsi: Bukti Tubuh Perempuan Bukan Milik Sendiri

“Melia” ingin menggunakan alat kontrasepsi usai melakukan aborsi calon anak ketiganya. Dari berbagai opsi, salah satu pilihannya adalah intrauterine device (IUD), atau alat kontrasepsi dalam rahim karena penggunaannya yang praktis. Namun, Melia terpaksa menyembunyikan keputusan itu dari suami “Adrian”.

Semua berawal pada 2010, ketika Melia konsultasi ke dokter obgyn usai pap smear. Pada dokternya, ia mengaku ingin memakai kontrasepsi yang enggak merepotkan. Berkaca dari dua jenis kontrasepsi yang pernah digunakannya—pil Keluarga Berencana (KB) dan suntik KB—yang punya efek samping.

 

 

Kepala Melia pusing ketika meminum pil KB, sedangkan ia harus minum dengan konsisten setiap malam. Apabila terlewat dua kali, Melia harus menunggu menstruasi lagi untuk kembali mengonsumsi. Sementara, suntik KB yang mengandung hormon estrogen, menyebabkan kelebihan air pada tubuh Melia, sehingga berat badan meningkat tajam. Karena itu, dokter menganjurkan untuk menghentikan pemakaiannya.

Sebagai solusi, dokter menyarankan IUD sebagai opsi. Setelah membicarakan pro kontra dan teredukasi, saat itu juga Melia memutuskan menggunakan IUD Copper T.

Meskipun yakin dengan pilihannya, Melia sempat bertanya-tanya, ketika dokter menyebutkan butuh surat persetujuan dari suami untuk melakukan tindakan. Kemudian, dokter menjelaskan, itu merupakan aturan dari pemerintah jika pasangan suami istri ingin memasang kontrasepsi. Hal ini diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Untuk beberapa saat, Melia mempertimbangkan apabila ia menyampaikan keinginannya pasang IUD pada Adrian. Sebenarnya Adrian enggak melarang penggunaan kontrasepsi. Terlebih, dua pemakaian kontrasepsi sebelumnya berdampak pada tubuh Melia, sehingga Adrian menyarankan kembali memakai kondom.

“Dia pasti nanya, ngapain pakai IUD?” tutur perempuan yang bekerja sebagai konsultan di bidang kebijakan publik tersebut. “Padahal kejadian aku hamil lagi karena pakai kondom masih enggak aman. Kan ada kemungkinan kondom terlepas saat berhubungan seks, dan aku enggak percaya sama kemampuannya menghindari kehamilan.”

Namun, Melia enggan menyampaikan hal tersebut pada Adrian. Katanya, enggak ingin menyinggung perasaan sang suami. Karena itu, Melia memilih mengisi formulir pertanggungjawaban, jika sewaktu-waktu Adrian tahu perihal pemasangan IUD dan mendatangi rumah sakit.

Sebenarnya tak hanya Melia yang memasang KB tanpa sepengetahuan suami. Dengan berbagai alasan, banyak perempuan melakukan tindakan yang sama lantaran dilarang suami. Salah satunya ajaran agama. Tak sedikit netizen di Twitter mengungkapkan pengalaman perempuan di sekitarnya, yang mengalami hal ini.

Magdalene sudah menghubungi mereka untuk wawancara. Sayangnya, kami belum menerima respons sampai artikel ini ditulis.

Baca Juga: Implementasi KB Masih Timpang Gender dan Diskriminatif pada Perempuan

Lagu Lama dengan Ajaran Agama

Dalih ajaran agama untuk tidak menggunakan kontrasepsi, juga diamini oleh Direktur Eksekutif Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) dr. Marcia Soumokil, MPH. Sejak 2004 ketika dr. Marcia aktif praktik, sudah mulai banyak perempuan yang berusaha mencari cara untuk mencegah kehamilan, terlepas dari persetujuan pasangan.

“Dulu segala sesuatu yang dilakukan perempuan, terutama menyangkut hak reproduksi, harus seizin suami,” terang dr. Marcia. “Ini dipengaruhi (ajaran) agama dan budaya. Jadinya izin itu penting, supaya istri bisa mengakses kontrasepsi.”

Perihal ajaran agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluncurkan fatwa terkait larangan vasektomi dan tubektomi. Hal ini diatur dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada 13 Juli 1977, yang menganggap tindakan tersebut sebagai upaya pemandulan tetap dan berlawanan dengan hukum Islam.

Menurut Kiai Haji Jamaluddin Mohammad—peneliti Rumah Kitab dan pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, pemahaman itu yang kemudian ditafsirkan sebagai larangan menggunakan kontrasepsi secara menyeluruh. Sebab, hadis Al-Wadud menganjurkan laki-laki untuk menikahi perempuan, yang berpotensi melahirkan banyak keturunan.

“Dulu ulama menganggap tujuan pernikahan untuk menjaga keturunan,” tutur pria yang akrab disapa Gus Jamal itu. “Supaya umat manusia nggak punah, disyariatkanlah perkawinan untuk menjaga umat manusia. Lalu, dengan banyak anak, berarti di akhirat akan mencetak banyak tentara Tuhan.”

Pandangan itulah yang masih ditafsirkan sebagian umat Muslim saat ini, hingga muncul larangan pemakaian kontrasepsi oleh para suami. Padahal, Gus Jamal menjelaskan, pada prinsipnya Islam tidak mempermasalahkan pemakaian kontrasepsi.

“Ada metode (kontrasepsi) yang udah lama digunakan, dan jadi cara untuk mencegah kehamilan. Namanya A’zel, atau coitus interruptus, alias ejakulasi di luar vagina,” ungkapnya.

Baca Juga: Berhenti Bilang Pakai Kondom Enggak Enak, Kontrasepsi Juga Urusan Laki-laki

Selain Islam, Katolik pun memiliki ajaran serupa. Dalam Humanae Vitae—ensiklik yang ditulis Paus Paulus VI—penggunaan kontrasepsi dianggap perbuatan dosa lantaran melawan kehendak Tuhan.

Ajaran Katolik memandang, hubungan suami istri adalah cara Tuhan melibatkan manusia dalam karya penciptaan, atau prokreasi. Sedangkan jika menggunakan kontrasepsi, anggapannya relasi suami istri yang dipersatukan dalam sakramen perkawinan telah “terceraikan”, sehingga hubungannya tidak menyeluruh.

Untuk mengatur kehamilan, Gereja menyarankan perencanaan secara alamiah. Yakni melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala, dengan tidak melakukan hubungan seks selama masa subur istri.

Terlepas dari ajaran agama, alasan apa pun yang mendorong suami melarang istri menggunakan kontrasepsi, adalah bentuk kontrol atas tubuh perempuan. Tak hanya kehilangan otoritas tubuh, situasi ini sekaligus mencabut kendali perempuan atas hak reproduksinya. Padahal perempuan juga berhak mengatur dirinya sendiri, termasuk menentukan kehamilan—sebagaimana berbagai aturan hukum mencatat hak reproduksi perempuan.

Di antaranya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (HAM), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Konvensi Hak Anak. Selain itu juga terdapat dalam Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Sayangnya, banyak yang belum memiliki pemahaman tersebut, sehingga perempuan berulang kali hamil dan melahirkan. Kondisi ini membahayakan keselamatan dan kesehatan ibu—seperti dijelaskan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam 4 Terlalu (4T–terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu banyak).

Akibatnya 4T ini dapat meningkatkan risiko pendarahan saat persalinan dan postpartum, hingga menyebabkan kematian ibu. Salah satunya betulan menimpa perempuan asal Malaysia, yang meninggal setelah melahirkan anak kesepuluh, pada 2022 lalu. Melansir Detik.com, sang ibu meninggal usai mengalami pendarahan karena komplikasi plasenta tahap keempat. Sebelumnya, ia menjalani operasi Caesar sebanyak delapan kali.

Sampai saat ini belum terdapat riset, mengenai batasan melahirkan lewat operasi Caesar. Namun, peristiwa tersebut menunjukkan, perempuan menghadapi risiko tinggi ketika berulang kali hamil dan melahirkan.

Ujung-ujungnya, perempuan yang terbelenggu dalam penggunaan alat kontrasepsi. Realitas ini tak lepas dari peran budaya patriarki, yang menitikberatkan beban reproduksi pada perempuan hanya karena memiliki rahim. Terlihat dari jenis alat kontrasepsi, yang lebih banyak tersedia bagi perempuan dibandingkan laki-laki—hanya kondom dan vasektomi.

Lalu, apa yang bisa dilakukan atas situasi ini?

Baca Juga: 5 Alat Kontrasepsi untuk Perempuan dan Efek Sampingnya

Kembalikan Hak Reproduksi Perempuan

Berdasarkan keterangannya, dr. Marcia menyebutkan setiap klinik memiliki kebijakan masing-masing, dalam menangani pasien yang ingin memasang kontrasepsi. Ada yang mengharuskan tanda tangan suami sebagai bentuk persetujuan, atau skrining dengan mengajukan pertanyaan.

“Tapi kalau (pasien) perempuan datang dan mau mengakses kontrasepsi, kami anggap udah berdiskusi dengan pasangannya di rumah. Jadi enggak harus ada tanda tangan suami,” ujar dr. Marcia. “Kecuali mau sterilisasi ya, soalnya ini kan prosedur operasi.”

Sistem operasional yang bergantung pada masing-masing klinik—maupun tenaga kesehatan, tentunya bukan jalan keluar. Perempuan masih belum sepenuhnya mampu memiliki hak atas tubuhnya.

Maka itu, dr. Marcia menyarankan pentingnya kampanye KB, untuk meningkatkan kesadaran suami akan informasi seputar kesehatan reproduksi—mengingat selama ini kampanye KB lebih banyak dihadiri perempuan. Informasi tersebut mencakup pengaturan jarak kehamilan, jumlah kehamilan, dan pentingnya mendiskusikan kehamilan dalam relasi suami istri.

“Strategi kampanye KB harus diubah. Selama ini kan lebih ditujukan pada perempuan, coba kampanye ini meng-highlight pentingnya KB untuk laki-laki,” jelas dr. Marcia. 

Di antaranya keuntungan bagi laki-laki untuk memikirkan tentang KB, dan jenis kontrasepsi yang harus digunakan bersama pasangannya. Kemudian, bagaimana cara mendukung pasangannya ketika mengetahui alat kontrasepsi yang dipilih, banyak memengaruhi kesehatan perempuan.

Dengan demikian, harapannya laki-laki memahami, dalam rumah tangga, suami dan istri memiliki hak reproduksi yang sama, alih-alih jadi beban sepihak.

Ini senada pula dengan ajaran Islam, di mana Gus Jamal melihat setiap pasangan perlu merefleksikan tujuan pernikahannya, termasuk untuk memiliki anak.

“Tujuan pernikahan di Alquan itu kan sakinah, mawadah, warahmah. Artinya ada ketenangan, keharmonisan, kasih sayang, dan saling mengasihi. Otomatis harus dibangun bersama, nggak bisa sepihak,” kata Gus Jamal.

Apabila dikontekstualisasikan dalam pemakaian KB, Gus Jamal menggarisbawahi perlunya komunikasi antara suami dan istri. Keduanya perlu bernegosiasi untuk membuat keputusan: Alasan menggunakan kontrasepsi, siapa yang memakai, jenis apa yang digunakan, dan efek sampingnya bagi tubuh.

Selain itu, Gus Jamal tak menampik, pemuka agama merupakan sosok yang dipandang oleh masyarakat. Karenanya, imbuh dia, peran ulama dibutuhkan dalam mengedukasi umat Muslim terkait tanggung jawab reproduksi. Contohnya menekankan kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan lima tujuan syariat Islam. Salah satunya perihal memelihara keturunan, yang mencakup upaya menjaga hak-hak reproduksi.

Untuk itu, diperlukan pendekatan keagamaan yang berpihak pada perempuan. Misalnya dengan melibatkan perempuan sebagai subjek, ketika membicarakan tanggung jawab reproduksi.

Meskipun demikian, pendekatan keagamaan hanyalah upaya agar kesetaraan hak reproduksi dalam rumah tangga dapat terpenuhi. Yang harus ditekankan tetaplah pemahaman, setiap individu berhak memilih pemakaian kontrasepsi, bukan bergantung pada ajaran agama.


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *