June 21, 2025
Issues Lifestyle Madge PCR

Mereka yang Bergaji Tinggi, tapi Merendah demi Suami 

Perempuan dengan status finansial lebih tinggi, berkompromi terhadap kelakukan toksik suami. Kami ngobrol dengan perempuan yang punya pengalaman ini.

  • May 26, 2025
  • 9 min read
  • 603 Views
Mereka yang Bergaji Tinggi, tapi Merendah demi Suami 

“Dinar”, 50, diam-diam menjalani satu dekade pernikahan yang penuh luka. Di balik citra mandiri sebagai pencari nafkah utama, tersembunyi beban berat di pundaknya. Penghasilannya yang jauh lebih besar dibandingkan suami menjadikannya tulang punggung keluarga—membiayai kebutuhan rumah tangga hingga pendidikan anak semata wayang. Namun, kemandirian finansial tersebut tak lantas membuatnya lebih bebas dan bahagia. 

Di rumah tangganya, Dinar terus membenarkan ketidakhadiran suami, baik secara fisik maupun emosional. Saat suaminya tidak hadir sebagai ayah dengan menolak terlibat aktif merawat anak, Dinar memaklumi dengan dalih pengertian dan tanggung jawab.  

Ia juga memaklumi suaminya melakukan kekerasan ekonomi. Berulang kali suami berupaya membuka usaha dengan dukungan finansial dirinya. Namun, tiap kali usaha itu gagal hingga mobil terpaksa dijual, Dinar cuma bisa bersabar. 

“’Kalau aku sukses, ya kamu juga ikutan sukses.’ Itu mantranya bertahun-tahun itu, kalau dia buat bisnis terus gagal,” cerita Dinar. 

Bukan itu saja. Mimpi Dinar kuliah S2 di luar negeri juga harus direlakan. Selain karena kebutuhan ekonomi, Dinar menyadari suami tidak mau berkompromi atas mimpinya sekolah tinggi. Egonya terlalu tinggi menjadi laki-laki yang menemani istri melanjutkan studi. Apalagi kalau harus bekerja jadi loper koran atau tukang cuci piring. Padahal pekerjaan tersebut dihargai dan bergaji cukup tinggi di negara tujuan studi Dinar. 

“Dia enggak mau kerjaan yang begitu. Orangnya enggak fleksibel banget. Aku putuskan ya udah lah. Itu salah satu mimpi yang akhirnya aku lepaskan aja sampai sekarang,” curhatnya. 

Baca juga: Kenapa Netizen Mudah Marah pada Kasus Perselingkuhan? 

Perempuan Berkompromi Paling Banyak dalam Relasi 

Seperti Dinar, “Bunga” punya pengalaman serupa. Di pernikahan pertamanya saat ia masih 22 tahun, Bunga sudah memiliki penghasilan di atas Rp20 juta, sedangkan gaji suami pertama hanya berkisar Rp1 juta saja. Cicilan rumah hingga kebutuhan harian semua ia tanggung. 

Memiliki kemandirian ekonomi seperti ini banyak didambakan perempuan lain. Sayang, kelebihan ini tidak lantas membuat relasi pernikahannya berjalan harmonis. Suami pertamanya absen sebagai ayah. Ia tidak hanya enggan terlibat dalam pengasuhan anak tapi juga tidak memberikan dukungan ekonomi. Bahkan ketika anaknya, “Rintani” masuk sekolah dan dirawat di rumah sakit.  

Sementara, suami kedua juga kepergok selingkuh dengan perempuan lain. Perselingkuhan ini terungkap tepat saat Bunga sedang terbaring lesu di rumah sakit karena keguguran. Seseorang mengirimkan pesan langsung (DM) dan menunjukkan pesan-pesan genit dan foto-foto telanjang suami. Saat dikonfrontasi, suaminya berusaha membela diri. 

“Dia bilang ke saya sejak awal bahwa dia adalah seorang bipolar. Dia mengatakan bipolar memiliki kecenderungan untuk selingkuh. Jadi itu (selingkuh) bukan salahnya dan dia akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak melakukannya. Saya percaya ucapannya itu. Saya memaafkannya,” tutur Bunga. 

Perselingkuhan bukan akhir segalanya, dalam pernikahan yang hanya berusia satu tahun itu, Bunga membatasi diri sendiri untuk berkembang. Ia yang kala itu tengah meniti karier sebagai pengacara, terpaksa melepas kesempatan berkarier di Hongkong. Keputusan itu ia ambil karena suami memintanya tetap tinggal di Indonesia. 

Cara Dinar dan Bunga berkompromi dan melimitasi diri dalam relasi pernikahan disinggung oleh psikolog klinis dewasa dengan spesialisasi di bidang relasi, keluarga, dan pernikahan, Pingkan Rumondor. Menyadur teori psikoanalisis sosial dari Karen Horney, Pingkan saat ditemui dalam sebuah wawancara zoom bersama Magdalene (21/5) menjelaskan bahwa setiap manusia lahir dengan kebutuhan dasar akan rasa aman (safety) dan kepuasan (satisfaction). Namun, di dunia yang kompetitif, seringkali kebutuhan ini tidak terpenuhi secara memadai oleh orang tua karena kesibukan mereka.

Sedangkan dalam kasus Bunga, internalisasi ini terlihat dari pola asuh ayah. Satu momen yang paling diingat Bunga adalah ketika mantan suami selingkuh. Bukannya membela dan melindungi anak perempuannya, ayah justru memaksa Dinar meminta maaf pada suaminya. Sebab, itulah seharusnya yang dilakukan perempuan Muslim yang baik: Memaafkan dan patuh pada suami. 

Hal ini memicu basic hostility (rasa permusuhan) yang sulit diekspresikan dan berujung pada basic anxiety (perasaan terisolasi, tidak aman, dan tidak berdaya). Untuk mengatasi basic anxiety ini, seseorang akan melakukan berbagai cara.  

Dua di antaranya adalah dengan mencari kasih sayang (affection) dan mencari kebutuhan yang kuat akan kasih sayang, persetujuan, dan cinta (submissiveness). Dalam mencari kasih sayang (affection), seseorang kerap mengorbankan hal lain, termasuk agensinya. Misalnya dengan menjadi lebih penurut atau mengabdikan dirinya pada orang lain (submissive).  

Hal yang perlu digarisbawahi, kata Pingkan, kedua cara yang kerap dilakukan perempuan ini enggak terlepas dari kuatnya budaya patriarki. Sejak lahir hingga dewasa, perempuan diajarkan menjadi individu yang harus berkorban dan memiliki status sosial di bawah laki-laki. Jika pun tidak secara langsung diajarkan, perempuan melihat kebiasaan ini dari perempuan-perempuan di keluarganya yang pada akhirnya secara tidak sadar diinternalisasi. 

“Perempuan kemudian (jadi) mengecilkan dirinya, kelihatan lebih rendah. Pokoknya kepercayaan yang dia pegang, perempuan itu di bawah laki laki,” jelas Pingkan. 

Ini tergambar dalam cerita Dinar. Ia mengungkapkan nenek dan ibu termasuk perempuan berdaya pada zamannya. Sang nenek punya usaha warung yang dari hasil penjualannya bisa membeli tanah dan rumah cukup luas. Namun, terlepas dari kemandirian ekonomi itu, di sisi lain sang nenek harus tunduk melayani suaminya yang pegawai negeri.    

Hal yang sama juga terjadi dengan ibu Dinar. Ibunya adalah jaksa, tetapi harus berkorban lebih banyak mengurusi rumah tangga dan mendukung suami yang berprofesi sebagai tentara.  

“Misalnya ibu akhirnya harus ambil pensiun dini karena bapak dipindah ke kota yang tidak ada pengadilan tinggi. Sementara ibu saat itu sudah eselon yang cukup tinggi dan tidak bisa bertugas di pengadilan negeri yang levelnya lebih rendah,” cerita Dinar. 

Sedangkan dalam kasus Bunga, internalisasi ini terlihat dari pola asuh ayah. Satu momen yang paling diingat Bunga adalah ketika mantan suami selingkuh. Bukannya membela dan melindungi anak perempuannya, ayah justru memaksa Dinar meminta maaf pada suaminya. Sebab, itulah seharusnya yang dilakukan perempuan Muslim yang baik: Memaafkan dan patuh pada suami. 

“Ayah saya menyeret saya ke keluarga mantan (suami) saya dan suruh saya minta maaf. Jadilah Muslimah yang baik. Salah saya sendiri dia selingkuh, mereka meminta saya untuk bercermin,” ungkapnya dalam amarah. 

Baca juga: Riset: Atas Nama Harga Diri, Suami Tak Suka Istri Cari Nafkah

Mekanisme Pertahanan Diri 

Saat perempuan mengatasi basic anxiety dengan mencari kasih sayang dan menjadi lebih penurut, laki-laki sebaliknya mencari cara dengan striving for power atau mencari kekuasaan. Karena pesan budaya yang menekankan laki-laki harus dominan, kuat, dan berkuasa. Ini misalnya tergambar dalam pola pengasuhan mantan suami Bunga. Ibu mertua memosisikan mantan suaminya sebagai tuan rumah.  

Pola asuh ini kemudian membuat mantan suami menginternalisasi nilai-nilai budaya patriarki bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Dalam beberapa kasus saat laki-laki merasa inferior, nilai-nilai budaya patriarki ini termanifestasi melalui perselingkuhan atau tindakan manipulasi dengan menyalahkan pasangannya. Hal ini mereka lakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi basic anxiety dan mendapatkan kembali rasa power.  

Terlepas dari bentuk manifestasinya, Pingkan menegaskan cara-cara ini sebetulnya sah-sah saja asalkan dilakukan secara fleksibel. Artinya, dalam relasi, seseorang tidak selalu harus patuh, mengalah, atau tidak selalu harus dominan mengatur untuk mengatasi basic anxiety-nya. Dalam hubungan sehat, peran-peran ini bersifat bergantian; terkadang istri yang mengambil keputusan, terkadang suami, terkadang istri yang membiayai, terkadang suami, dan seterusnya. 

Namun, jika perempuan terus-menerus mengecilkan diri sendiri demi pasangannya terlihat lebih ‘besar’, ini mengindikasikan adanya masalah psikologis. Pingkan menjelaskan akar masalahnya kemungkinan besar berasal dari pengalaman masa kecil, seperti penelantaran (neglect) atau kekerasan (abuse), baik yang disengaja atau tidak disengaja. Trauma ini dapat menciptakan luka psikologis dan gambaran tentang diri yang negatif, membuat seseorang merasa tidak layak disayang atau tidak penting. 

Perasaan ini terbawa ke dalam hubungan, di mana ketika mereka merasa dirinya ‘kurang’, mereka akan bergantung pada sosok yang lebih powerful

“Atau kalau sosoknya tidak powerful, saya kecil-kecilin diri saya biar kelihatannya sosok yang saya andalkan ini lebih powerful, atau lebih kuat secara finansial, atau secara status, yang penting saya dapat kasih sayang” tambah Pingkan. 

Baca juga: Lelaki Marah Ditinggal Pasangan Makan Duluan: Tanda Maskulinitas Toksik

Memutus Rantai Limitasi Diri 

Bagi perempuan yang merasa terlanjur masuk ke dalam hubungan yang menuntut untuk menciptakan batasan bagi diri sendiri, Pingkan punya saran khusus. Sebaiknya mereka memusatkan fokus pada dirinya sendiri terlebih dahulu, sembari menyadari letak kontribusi diri terhadap munculnya kondisi tersebut. Penting juga untuk memahami asal-usul luka yang menyebabkan ia rela mengecilkan diri demi mendapatkan kasih sayang.  

Selain itu, bagi perempuan dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi dari pasangannya, Pingkan juga menyarankan agar mereka bisa memberikan kesempatan kepada pasangannya untuk ambil bagian dalam peran tertentu secara bergantian. Misal, sesekali biarkan ia yang membayar kebutuhan rumah atau merawat anak.  

“Jadi emang perlu fleksibel. Bukan berarti kita enggak bisa kelihatan sekali-sekali nurut atau dominan, bisa. Asal jangan selalu” ungkap Pingkan kepada Magdalene, (21/5). 

Lantas, bagaimana agar laki-laki tidak merasa terancam atau ‘merasa kecil’ saat berhadapan dengan perempuan yang lebih ‘sukses’? 
 
Pingkan menggarisbawahi pentingnya peran keluarga, khususnya orang tua atau pengasuh. Sejak dini, anak-anak perlu memahami budaya yang mengajarkan bahwa kesuksesan bisa berasal dari banyak hal, bukan hanya finansial. Itu bisa juga dari kemampuan berkesenian, memasak atau kemampuan mengelola rumah tangga. Bahwa laki-laki serta perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. 

Selain itu, penting juga untuk membangun rasa percaya diri dan kesadaran diri pada anak, agar mereka menyadari kelebihan dan kekurangannya, serta mampu mengevaluasi keyakinan yang mungkin salah, seperti pandangan bahwa laki-laki harus lebih tinggi dari perempuan. 

Untuk kasus laki-laki yang sedang di fase inferior atau ‘merasa kecil’ dalam hubungannya, diperlukan kesadaran diri untuk memahami alasan di balik kebutuhannya untuk memanipulasi atau mencari power, serta apa yang sebenarnya ia rasakan tentang dirinya sendiri.  

“Kalau dari sisi teori psikoanalisis sosial, biasanya orang yang manipulasi atau yang sangat butuh power sampai merugikan orang lain, itu biasanya dia merasa sangat insecure. Biasanya ada luka-luka yang belum selesai” ujar Pingkan. 

Secara umum, perempuan dan termasuk laki-laki, perlu belajar untuk memenuhi kebutuhan kasih sayang dari diri sendiri dan termasuk dari sumber lain, seperti pertemanan, daripada hanya bergantung sepenuhnya pada pasangan. 

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality
About Author

Brigitta Novia Lumakso and Jasmine Floretta V.D