
Selain “Salatiga benar tujuh”, celetukan yang paling sering aku dengar soal kotaku adalah “yang enggak punya mal itu, kan?”
Jujur celetukan terakhir pernah bikin aku merasa seperti outsiders dalam pergaulan. Aku ingat jelas perasaan iri ketika melihat teman dari Jakarta atau Semarang update story dari mal, pamer hasil belanjaan, atau sekadar nonton film anyar. Sementara aku? Paling banter numpang rental VCD di depan terminal atau baca ulasan film dari majalah Gadis bekas di Pasar Raya.
Rasanya seperti left-out dan enggak gaul. Terlebih saat itu, buat anak perempuan usia SMP, jadi bagian tren dalam fesyen, musik, tempat nongkrong relatif penting. Namun seiring bertambahnya usia, aku mulai melihat ketiadaan mal di Salatiga bukan sebagai kekurangan, tapi sebagai pemantik. Kami anak muda di sini, justru tumbuh jadi generasi yang lebih kreatif.
Baca juga: ‘Buy Now! The Shopping Conspiracy’ Bongkar Cara Perusahaan Bikin Kamu Belanja Terus
Budaya Pop, Mal, dan Mimpi Remaja Perempuan
Kekesalan masa remajaku soal ketiadaan mal bukan tanpa latar belakang. Sebelum pindah ke Salatiga, aku besar di kota dengan akses bioskop dan pusat perbelanjaan. Ditambah lagi, tontonan masa remaja—dari Clueless (1995), Mean Girls (2004), sampai The Clique (2008)—secara enggak langsung membentuk ekspektasiku tentang bagaimana “seharusnya” kehidupan remaja perempuan dijalani. Fashionable, aktif sosial, punya akses mal, dan selalu tahu tren terbaru. Film-film itu juga membentuk standar bahwa menjadi remaja ideal artinya punya akses ke dunia yang penuh pilihan—dan Salatiga terasa terlalu sempit untuk semua itu.
Media memang punya kuasa besar dalam membentuk imajinasi dan identitas perempuan muda. Angela McRobbie (2000) dalam bukunya “Feminism and Youth Culture: From Jackie to Just Seventeen” menunjukkan bagaimana majalah remaja seperti Jackie menjadi ruang sosialisasi nilai-nilai feminitas dan gaya hidup urban perempuan muda. Di Indonesia, menurut riset “Representasi Identitas Remaja Perempuan Indonesia dalam Majalah GoGirl!” (2015), peran ini dimainkan oleh Gadis, Cosmopolitan, hingga GoGirl! Mereka secara aktif memasarkan tren dan gaya hidup ke segmen kelas menengah.
Majalah dan film itu memberi kesan bahwa mal adalah simbol status. Seperti yang dijelaskan Sharon Zukin (1991) dalam “Landscapes of Power: From Detroit to Disney World”, mal bukan sekadar ruang konsumsi, tapi juga simbol modernitas, mobilitas sosial, dan kuasa ekonomi. Enggak heran kalau anak-anak remaja yang bisa pergi ke mal tiap akhir pekan dipandang lebih “gaul” dan punya nilai sosial lebih tinggi di mata teman sebaya.
Masalahnya, enggak semua anak bisa semudah itu ke mal. Selain enggak punya kendaraan pribadi, ongkos, dan izin orang tua, kami juga harus bergulat dengan jarak. Perjalanan dari Salatiga ke Semarang atau Solo—kota terdekat yang punya fasilitas mal—butuh waktu minimal satu jam. Karena itu, pengalaman nonton film jadi sesuatu yang langka dan istimewa buat akamsi Salatiga.
Baca juga: Aku Membeli Maka Aku Ada: Sejauh Mana ‘Influencer’ Bikin Kita Ketagihan Belanja?
Kenapa Salatiga Enggak Punya Mal?
Salatiga memang enggak pernah punya mal. Dulu ada kabar pusat perbelanjaan Matahari mau buka, tapi enggak pernah terjadi. Bioskop Reksa tutup karena sepi pengunjung, digantikan tren CD bajakan. Yang tersisa hanya Ramayana yang lebih mirip toko serba ada ketimbang pusat hiburan.
Beberapa kali beredar kabar pembangunan mal di titik-titik strategis kota: Perempatan Yos Sudarso-Diponegoro, daerah Blotongan, atau Pulutan. Semua kandas, entah karena berada di lokasi cagar budaya atau sekadar hoaks pembangunan.
Saking kecil, sepi, dan murahnya biaya hidup, Salatiga sering dianggap kota ideal buat pensiun. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (2024), angka harapan hidup warga Salatiga jadi yang tertinggi di Indonesia—mencapai 78,27 tahun. Mungkin salah satu sebabnya karena warga Salatiga sudah terlatih untuk hidup sederhana tanpa hiruk-pikuk khas perkotaan.
Secara historis, Salatiga memang punya corak ruang yang berbeda. Kota ini dulu merupakan tempat peristirahatan pedagang sejak masa kolonial, karena letaknya yang strategis dan sejuk. Ada 81 perkebunan swasta di 1920 dan fasilitas hiburan seperti gedung opera serta Bioskop Rex, dikutip dari riset bertajuk “Rekonstruksi Kota Kolonial Salatiga dan Kontribusi Teknologi Geographical Information System” (2019). Saat Salatiga berstatus gemeente—pemerintahan kota ala Belanda—transportasi seperti Bus Esto-lah yang memperkuat mobilitas warga.
Dalam teori The Production of Space milik Henri Lefebvre (1991), ruang kota dibagi jadi tiga: Conceived space (ruang yang direncanakan), perceived space (ruang yang digunakan), dan lived space (ruang yang dihidupi). Di Salatiga, conceived space seperti mal nyaris enggak hadir. Yang muncul justru lived space—alun-alun, selasar, rental film, perpustakaan daerah, hingga tempat pemandian alami seperti Senjoyo—ruang-ruang tempat kami mengekspresikan kehidupan remaja kami.
Baca juga: Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri
Anak Muda Salatiga Out of the Box
Alih-alih jadi konsumen pasif, kami di Salatiga memproduksi hiburan sendiri. Sepulang sekolah, aku dan teman-temanku sering jalan kaki menyusuri Selasar Kartini sambil berbagi cerita. Kami menyewa sepeda, keliling kota, lalu jajan batagor atau es dawet di pinggir jalan. Perpustakaan jadi tempat nongkrong kalau butuh wifi atau kerja kelompok.
Selasar Kartini, bagi kami, bukan sekadar trotoar panjang. Itu adalah ruang sosial. Di sana kami nonton film untuk tugas, belajar bareng, bahkan sekadar nongkrong sambil ngemil gorengan. Enggak perlu AC atau kursi empuk seperti di mal—cukup tempat yang bisa diakses dan teman yang asik.
Dalam buku “The Rise of the Creative Class”, Richard Florida (2002) menyebut kualitas tempat—terutama ruang publik yang mudah diakses—mendorong munculnya partisipasi kreatif warga. Ruang seperti Selasar Kartini, alun-alun, dan taman kota memberi kemungkinan buat anak muda untuk mencipta. Mulai dari pertunjukan akustik, main skateboard, hingga sekadar membaca buku puisi di bawah pohon. Hiburan enggak melulu harus mahal atau dikurasi industri.
Kini, aku sudah tak tinggal di Salatiga. Namun setiap pulang kampung, aku selalu kembali ke kebiasaan lama: Potluck di alun-alun, menonton film dari laptop di teras rumah, atau jalan santai sambil beli cilok.
Mal buatku memang memberi kemudahan dan fasilitas. Namun Salatiga mengajarkanku bahwa kreativitas bukan datang dari kelengkapan, melainkan keterbatasan. Aku pun belajar, di luar estetika gaya hidup urban yang dipromosikan media, ada nilai-nilai yang lebih penting. Misalnya, kebersamaan, partisipasi, dan ruang yang terbuka bagi semua. Salatiga mungkin kota kecil tanpa mal, tapi di sanalah aku belajar bahwa anak muda yang menciptakan makna kota sendiri.
