June 23, 2025
Issues Politics & Society

#AllEyesonMadleene: Apa yang Bisa Kamu Lakukan untuk Akhiri Impunitas Israel  

Misi kemanusiaan Madleen dari Freedom Flotilla Coalition dicap buruk oleh sejumlah media. Apa yang bisa kita lakukan?

  • June 11, 2025
  • 8 min read
  • 435 Views
#AllEyesonMadleene: Apa yang Bisa Kamu Lakukan untuk Akhiri Impunitas Israel  

Laut Mediterania jadi saksi ketegangan internasional. Kapal Madleen, bagian misi kemanusiaan Freedom Flotilla Coalition (FFC) dikepung Angkatan Laut Israel pada (9/6), pukul 03.00 waktu setempat. Di atas kapal tersebut terdapat 12 aktivis dan jurnalis dari berbagai negara, termasuk aktivis iklim Greta Thunberg dan pengacara hak asasi manusia (HAM) Rima Hassan.

Unit elit Shayetet 13 dilaporkan mengerahkan drone bersenjata yang menyemprotkan cairan putih misterius ke dek kapal. Tujuannya untuk mengaburkan pandangan serta mengacaukan sistem komunikasi dan navigasi.

“Kami diserang dalam gelap, mereka ingin membutakan dan membungkam,” kata Huwaida Arraf, salah satu pendiri Gerakan Solidaritas Internasional, kepada Al Jazeera.

Beberapa jam sebelum operasi itu, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz telah menginstruksikan militer untuk menghentikan kapal dengan segala cara. Dalam pernyataannya yang dikutip The Guardian, Katz menyebut misi kemanusiaan FFC sebagai bagian dari propaganda Hamas. Pernyataan ini memberi lampu hijau bagi operasi militer yang memaksa Madleen dialihkan ke Pelabuhan Ashdod. Para penumpangnya, termasuk Thunberg dan Hassan, kini ditahan dan diproses untuk deportasi dengan tuduhan melanggar blokade Gaza.

Langkah Israel ini segera menuai kecaman global. FFC menyebut tindakan tersebut sebagai penyanderaan, dan mengecam penggunaan zat kimia yang berbahaya terhadap misi damai.

“Ini bukan hanya simbol kekerasan, tapi juga membahayakan nyawa,” tegas pernyataan resmi mereka kepada AP News.

Protes bermunculan dari berbagai penjuru dunia. Pemerintah Turki menyebut aksi Israel sebagai pelanggaran hukum internasional. Prancis mendesak akses konsuler segera terhadap warganya, sementara Jean-Luc Mélenchon, pemimpin partai France Unbowed (LFI), mengecam insiden ini sebagai “perompakan internasional”.

Spanyol memanggil duta besar Israel untuk menyampaikan protes resmi. Jerman memberikan pendampingan diplomatik kepada warganya. Gelombang reaksi diplomatik ini menegaskan tekanan global terhadap Israel, sekaligus memperkuat dukungan terhadap misi kemanusiaan FFC yang berusaha menerobos blokade dan membawa bantuan seperti beras serta susu formula bayi ke Gaza.

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel  

Krisis Kelaparan yang Gerakan Kemanusiaan 

Gaza terjebak dalam krisis kelaparan paling parah sepanjang sejarah wilayah tersebut. Laporan dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang dikutip Al Jazeera menyebutkan, sekitar 1,95 juta orang—atau 93 persen dari populasi Gaza—menghadapi kelangkaan pangan akut.

Situasi ini semakin memburuk sejak 2 Maret 2025, ketika seluruh jalur bantuan kemanusiaan ditutup total oleh militer Israel. The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA) melaporkan, selama lebih dari sebelas minggu, tidak ada makanan, bahan bakar, obat-obatan, bahkan vaksin yang berhasil masuk.

Ketika jalur bantuan akhirnya dibuka kembali pada (18/5), yang menyambut warga Gaza bukanlah makanan, melainkan moncong senapan. Dalam unggahan di platform X, Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menyatakan banyak warga sipil tertembak saat tengah mengantre bantuan makanan. Mereka bukan korban kekacauan, tapi korban dari sistem kekerasan yang disengaja dan terstruktur.

Dunia menyaksikan ini, namun suara-suara solidaritas sering kali diredam atau dibungkam. Karena itulah FFC menginisiasi misi kemanusiaan kapal Madleen. Kapal ini berlayar dari Italia pada (1/6) lalu, membawa bantuan esensial seperti susu bayi, popok, perlengkapan medis, dan bahan pangan. Madleen bukan sekadar kapal bantuan—ia adalah bentuk perlawanan sipil terhadap kebuntuan akses resmi dan ketidakadilan yang terus melilit Gaza.

Dalam situs resmi FFC, Huwaida Arraf, pengacara HAM dan penyelenggara utama misi ini, menegaskan kapal Madleen tidak berada di bawah yurisdiksi Israel. Karena itu, menurutnya, tidak ada dasar hukum untuk mengkriminalisasi kapal ini hanya karena mengangkut bantuan kemanusiaan. Dalam berbagai pernyataannya, Arraf menekankan misi ini sepenuhnya damai dan mengikuti hukum maritim internasional.

Apa yang dilakukan FFC adalah upaya melawan keheningan global yang terlalu lama membiarkan rakyat Gaza menderita. Di tengah dunia yang memutar kepala ke arah lain, kapal Madleen berlayar dengan satu pesan: Solidaritas sipil tidak bisa diblokade.

Baca Juga: Boikot Produk hingga Unggah ‘Story’, 5 Hal untuk Bantu Palestina 

Framing Media yang Problematis 

Namun, di tengah kecaman global atas penangkapan 12 aktivis dan jurnalis, sejumlah media internasional membingkai misi kemanusiaan kapal Madleen dengan narasi yang cenderung menyoroti potensi ancaman, alih-alih kekerasan yang dialami para peserta misi. Pemberitaan semacam ini dinilai sejumlah pengamat sebagai bentuk pembenaran atas tindakan represif Israel terhadap solidaritas sipil.

Dalam unggahan Instagram NewsCord–platform yang mempertanggungjawabkan bias pemberitaan media – usaha pembenaran tindakan represif ini terlihat dari dua aspek penting. 

Pertama, NewsCord menemukan, misi kemanusiaan kapal Madlene minim diberitakan media arus utama Inggris hingga (9/6). Madlene adalah kapal berbendera Inggris yang berarti di bawah hukum internasional (UNCLOS Pasal 92) merupakan perpanjangan wilayah Inggris di laut. NewsCord hanya menemukan 14 berita terkait misi kemanusiaan yang diinisiasi FFC ini yang diterbitkan oleh empat media Inggris.  

Tiga berita dari Sky News, 2 berita dari The Guardian, 8 dari The Independent, dan 1 dari BBC–diterbitkan hanya beberapa jam dari penangkapan paksa 12 aktivis dan jurnalis. Jumlah pemberitaan yang sangat minim dari media inggris, ini diperparah dengan diamnya media Barat lainnya.  

“Meskipun ada rekaman dan pelacakan langsung, hanya media Asia Barat, media alternatif, dan halaman media sosial yang meliput kejadian tersebut. Di luar ruang gema ini, media Barat sama sekali tidak bersuara,” jelas NewsCord dalam unggahan mereka. 

Minimnya pemberitaan ini disusul dengan penggunaan diksi bias atau pemilihan narasumber. Dalam salah satu pemberitaan BBC misalnya, 79 persen atau lebih dari dari separuh bagian atas artikel ini (233 kata pertama) didedikasikan untuk pernyataan Menteri Pertahanan Israel, Katz. Mereka menegaskan pernyataan yang dipilih BBC menggarisbawahi klaim dan pembenaran tidak berdasar dari untuk mengancam Freedom Flotilla.

Selain itu, alih-alih menyoroti urgensi bantuan dan sifat damai dari misi ini, BBC memilih menekankan narasi “potensi ancaman” dan “pelanggaran blokade”.  

Sebanyak 184 kata ditemukan NewsCord didedikasikan untuk membingkai Madleen sebagai “armada kebencian” sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menjelaskan misi kemanusiaan Madleen. Temuan NewsCord ini senada dengan analisis Mariam Jooma, analis di Media Review Network (MRN).

Jooma menganalisis berita utama BBC bertajuk “Gaza aid ship with Greta Thunberg onboard diverted by Israeli forces” bahasa digunakan untuk mengaburkan bahkan memaklumi kekerasan kolonial. BBC misalnya menggunakan diksi “dialihkan” – bahasa untuk mengangkut logistik, bukan operasi angkatan laut bersenjata. Diksi ini kata Jooma sengaja digunakan sebagai pelunakan leksikal yang disengaja untuk menghilangkan tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum internasional.  

“Sebuah kapal yang mengibarkan bendera anggota tetap Dewan Keamanan PBB disita di perairan internasional, dan media global membingkainya sebagai prosedur rutin,” tulisnya. 

Strategi yang sama juga digunakan Reuters. Dalam berita yang mereka tulis dan diterbitkan juga di media Afrika Selatan Daily Mavericks, Reuters yang menggunakan diksi “menaiki” (boarded) bukan dibajak atau disergap dalam menggambarkan kekerasan militer Israel. Ini kata Jooma adalah normalisasi impunitas. 

Baca juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina 

Apa yang Harus Kita Lakukan 

Pemberitaan media internasional tentang insiden penahanan 12 aktivis dan jurnalis dalam misi kemanusiaan kapal Madleen menunjukkan pola framing yang membentuk persepsi publik tertentu. Dalam sejumlah laporan, justifikasi terhadap tindakan aparat kerap lebih menonjol dibandingkan penjelasan tentang konteks misi bantuan yang dijalankan. Pola ini berpotensi mempengaruhi persepsi terhadap legalitas dan legitimasi misi kemanusiaan sipil.

Dalam konteks tersebut, respons masyarakat sipil menjadi salah satu kanal untuk menjaga ruang partisipasi publik. Ketika akses terhadap dukungan resmi terbatas, keterlibatan warga dalam penyebaran informasi dan pemantauan terhadap pelanggaran menjadi penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Informasi yang berimbang diperlukan agar publik memahami bahwa misi kemanusiaan ini berkaitan dengan hak atas hidup, kesehatan, dan perlindungan warga sipil.

Jika kekerasan terhadap 12 aktivis dan jurnalis damai tidak mendapat perhatian dan penanganan yang jelas, hal ini dapat membuka potensi impunitas dalam penanganan insiden serupa di masa depan. Serangan terhadap misi bantuan sipil juga berdampak pada pembatasan ruang gerak solidaritas internasional, termasuk akses terhadap bantuan medis dan logistik untuk warga sipil di wilayah konflik.

Situasi ini menyoroti pentingnya penegakan hukum humaniter internasional dan perlindungan terhadap pekerja kemanusiaan. Ketika tidak ada jaminan keamanan bagi misi bantuan non-negara, keberlanjutan bantuan kemanusiaan lintas batas menjadi lebih rentan terhadap pembatasan dan kriminalisasi.

Sejumlah bentuk keterlibatan masyarakat yang dapat dilakukan mencakup pengawasan melalui kanal informasi publik, penyebaran data dan laporan independen, serta pengiriman surat atau petisi kepada lembaga terkait. Partisipasi ini juga bisa disalurkan melalui media sosial, yang dalam beberapa kasus telah menjadi alat penyebaran informasi kemanusiaan secara global.

Aktivisme digital—seperti yang terlihat dalam sejumlah gerakan berbasis hak—menunjukkan potensi mobilisasi melalui ruang daring. Informasi yang dibagikan secara luas dapat memperluas cakupan perhatian publik dan mendorong lembaga terkait untuk memberikan tanggapan resmi.

Masyarakat juga dapat menghubungi Kementerian Luar Negeri dari negara-negara asal para aktivis dan jurnalis yang ditahan, guna menyampaikan permintaan klarifikasi atau perlindungan hukum. Berikut adalah akun dan alamat email yang dapat dijadikan referensi:

Warga negara Prancis: Baptiste Andre, Rima Hassan, Pascal Maurieras, Reva Viard, dan jurnalis Yanis Mhamdi serta Omar Faiad 

Instagram: @francediplo & @jeannoelbarot 

Email: [email protected]/[email protected] 

Warga negara Swedia: Greta Thunberg 

Instagram: @swedishmfa 

Email: [email protected] 

Warga negara Jerman: Yasemin Acar 

Instagram: @auswaertigesamt 

Email: [email protected] 

Warga negara Belanda: Marco Pepijn 

Instagram: @minbz 

Website: www.government.nl/contact/public-information-service/email 

Warga negara Brasil: Thiago Ávila 

Instagram: @itamaratygovor 

Email: [email protected] 

Warga negara Spanyol: Sergio Toribio 

Instagram: exteriores.maec 

Email: [email protected] 

Warga negara Turki: Suayb Ordu 

Instagram: @tcdisisleri 

Website: www.mfa.gov.fr/contact-us.en.mfa 

Terakhir, masyarakat Indonesia bisa secara langsung terlibat dalam gerakan solidaritas sipil. Beberapa organisasi atau NGO HAM Indonesia seperti KontraS, Gerakan BDS Indonesia, LBH Jakarta, dll akan melakukan aksi turun ke jalan dengan menyimbangi tujuh Kedutaan Besar (Kedubes) di Jakarta pada Selasa (10/6). Dengan titik kumpul di Kedutaan Besar Perancis pada pukul 12:00 WIB, aksi ini bertujuan memberikan tekanan langsung kepada negara-negara yang warganya menjadi korban kriminalisasi di laut internasional, sekaligus mendesak pertanggungjawaban diplomatik atas tindakan Israel.   



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.