Pemaksaan Vasektomi: Kebijakan Bias Kelas yang Bahayakan Perempuan

Nama Dedi Mulyadi tak lepas dari kontroversi. Setelah banyak dikritisi pakar karena mengirim anak-anak “bandel” ke barak militer, Gubernur Jawa Barat itu juga dirujak warga seiring wacana vasektomi yang jadi syarat kelayakan bantuan sosial (bansos).
Wacana tersebut dilontarkan Dedi dalam rapat koordinasi Pemprov Jabar di Gedung Balai Kota Depok (29/4). Ia bahkan mengusulkan warga yang bersedia vasektomi akan diberi insentif Rp500 ribu. Menurutnya, banyak orang tua belum bisa bertanggung jawab atas kehamilan, kelahiran, dan pendidikan anak-anaknya. Ia pun mengaku sering dimintai tolong membantu biaya persalinan yang angkanya mencapai Rp25 juta.
“Kalau orang tidak punya kemampuan untuk membiayai kelahiran, membiayai kehamilan, membiayai pendidikan, ya jangan dulu ingin menjadi orang tua dong,” kata dia dikutip dari Tempo.co.
Wacana Dedi ini sontak langsung jadi perbincangan hangat hingga menuai kritikan dari sejumlah kalangan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dedi sempat menyampaikan klarifikasi di Kantor Kementerian Hak Asasi Manusia, Jakarta, (9/5). Dilansir dari Antara, kebijakan itu urung diberlakukan, melainkan cuma bersifat anjuran kepada warga. Namun nasi sudah jadi bubur: Warga Jabar marah.
Baca juga: Sederhana, tapi Media Masih Tak Adil pada Korban Femisida: Temuan Magdalene
Kemiskinan Struktural di Balik ‘Banyak Anak Banyak Rejeki’
Dedi boleh saja menganulir kebijakan soal vasektomi. Namun ide itu berpotensi digunakan pejabat pemerintah lain. Kebijakan mengirim anak “bandel” ke barak misalnya, sudah menginspirasi Gubernur Bengkulu Helmi Hasan dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur dikutip dari Antara.
Hal yang jadi masalah lain adalah tidak sedikit masyarakat juga setuju dengan kebijakan vasektomi model ini. Mereka yang pro berpendapat vasektomi sebagai syarat bansos bagus untuk memberantas kemiskinan. Menurut mereka, banyak rakyat miskin yang jelas-jelas tidak mampu menafkahi anak-anaknya, tapi nekat punya anak banyak. Ini membuat mereka jadi semakin sulit bahkan mustahil lepas dari kemiskinan.
Pendapat mereka sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Menurut Jeffrey Sachs dalam The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time (2005), fertilitas tinggi memang membuat kemiskinan kian sulit diputus. Disebut sebagai poverty trap, tiap anak yang lahir nantinya tidak akan mendapat hak-hak dasar mereka seperti pendidikan, sanitasi, sandang, dan pangan yang layak. Sebab, sumber daya yang ada, harus dibagi ke lebih banyak orang. Akibatnya, mereka tumbuh dewasa dengan kemandirian dan produktivitas ekonomi yang minim. Jika terjadi di banyak keluarga, ini akan berakibat pada kemiskinan berulang lintas generasi.
Walaupun demikian, fertilitas tinggi yang umumnya terjadi di kelompok miskin, juga tidak terlepas dari kemiskinan struktural. Ini ditandai oleh rendahnya akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, layanan kesehatan, pasar kerja, sampai akses jaminan sosial formal.
Shofi dari Perempuan Mahardhika mengungkapkan, hal ini jadi salah satu penyebab mengapa masyarakat dari kelompok miskin sering kali terjebak dalam kondisi yang sama berkali-kali. “Ada faktor pengetahuan yang enggak cukup yang membuat mereka luput bahwa anak yang dilahirkan ini datang disertai dengan tanggung jawab orang tua yang besar,” ungkapnya kepada Magdalene.
Shofi juga menuturkan keterbatasan yang ada dalam kemiskinan struktural membuat masyarakat di kelompok ini sering mengaitkan anak sebagai investasi untuk menaikan taraf hidup. Bagi mereka, memiliki anak dianggap sebagai cara instan untuk mensejahterakan keluarga.
“Sebenarnya, ketika warga miskin itu punya banyak anak, sebagian besar bukan karena mereka memang sadar ingin punya anak banyak. Ada banyak faktornya, baik itu faktor agama, atau faktor anggapan bahwa anak itu investasi. Sehingga mereka merasa bahwa melahirkan banyak anak artinya melahirkan banyak kesempatan untuk mereka hidup lebih baik gitu,” terangnya.
Apa yang diungkapkan Shofi sejalan dengan John C. Caldwell dalam penelitiannya Toward a Restatement of Demographic Transition Theory (1976). Caldwell menjelaskan bahwa arus kekayaan (wealth flows) dalam masyarakat miskin mengalir dari anak ke orang tua. Kondisi ini mendorong tingginya fertilitas karena anak dianggap sebagai investasi ekonomis (tenaga kerja dan jaminan pensiun informal) sekaligus sebagai jaminan terhadap risiko kemiskinan.
Baca juga: Rumah yang Membunuh: Femisida dalam Pernikahan dan Mengapa Perempuan Sulit Pergi
Melanggar Otonomi Tubuh sampai Bahayakan Perempuan
Tidak hanya soal kemiskinan struktural saja, permasalahan yang timbul dari aturan vasektomi sebagai syarat bansos juga menggarisbawahi pelanggaran hak otonomi atas tubuh. Direktur Eksekutif Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia dr. Marcia Soumokil, MPH. Angkat suara.
Ia mengingatkan kebijakan Keluarga Berencana (KB) berbasiskan keikutsertaan yang bersifat sukarela. Dengan demikian, seseorang yang ingin mengakses kontrasepsi juga seharusnya diberikan informasi yang baik dan lengkap agar keikutsertaan mereka dilandaskan kesadaran penuh.
Sebaliknya menurut Marcia, jika KB didorong sebagai syarat bantuan sosial, sifat kesukarelaan ini menjadi hilang. Masyarakat miskin membutuhkan bantuan sosial untuk penghidupan mereka yang mendesak. Kemendesakan ini membuat pilihan untuk vasektomi tidak lagi didasarkan oleh kesukarelaan yang berbasis kebutuhan.
“Layanan kespro (kesehatan reproduksi) yang dikaitkan dengan bantuan sosial itu sebenarnya bukan sesuatu yang diperbolehkan ya. Ini akan cenderung mengarah kepada pemaksaan kontrasepsi. Ada banyak orang yang sangat memerlukan bansos dan akan melakukan apa saja demi itu (bansos) karena itu survival mode,” jelas Marcia.
Ia menambahkan ketika menjadi tindakan pemaksaan, vasektomi pun sebenarnya telah masuk ke dalam kekerasan seksual dan itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Pasal 9 yang mengatur, pemaksaan sterilisasi masuk dalam kekerasan seksual karena telah merampas hak-hak dasar individu terkait dengan reproduksi dan kebebasan tubuh seseorang. Pihak yang terbukti melakukan sterilisasi paksa ini pun bisa dikenakan hukuman penjara paling lama sembilan tahun.
Lebih dari itu, kebijakan ini juga berdampak pada perempuan. Marcia bilang, pemaksaan vasektomi bisa menimbulkan relasi tidak sehat dengan pasangan. Bahkan bisa mengarah pada kekerasan dalam rumah tangga. Hal senada juga diungkap oleh Shofi. Menurutnya, vasektomi yang dipaksakan berpotensi memunculkan bentuk kekerasan lain, apalagi jika itu berbenturan dengan maskulinitas beracun yang ada pada diri laki-laki.
“Menurutku akan selalu ada potensi kekerasan dalam rumah tangga yang muncul, karena kita hidup di dunia yang patriarki ini. Di mana laki-laki masih sering sering punya toxic masculinity dan mereka merasa harus selalu bisa membuahi. Aku enggak yakin kalau itu (pemaksaan vasektomi) akan menimbulkan zero issue untuk ke depannya,” ungkap Shofi.
Pernyataan Marcia dan Shofi bukan cuma omong kosong. Faktanya, pemaksaan vasektomi memang punya korelasi kuat dengan peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual. Ini pernah diteliti oleh Aditi Singh dan Sarah Vincent dalam penelitian yang berjudul Male Sterilization and Persistence of Violence (2023). Dengan menggunakan contoh kebijakan sterilisasi massal selama 1975-1977, Singh dan Sarah menemukan ada lonjakan kasus pemerkosaan sekitar 22 persen setelah kebijakan sterilisasi ini resmi diimplementasikan.
Lonjakan ini kata keduanya terjadi karena menimbulkan ancaman terhadap maskulinitas laki-laki yang berubah pada reaksi kekerasan interpersonal. Laki-laki yang merasakan maskulinitasnya dicabut paksa jadi merasa harus membuktikan kejantanannya pada orang lain. Perempuan yang dalam tataran budaya patriarki masih diposisikan sebagai subordinat pun jadi korban. Mereka mengalami kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga karena relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan semakin timpang.
Temuan serupa dicapai Prasad dalam Impact of Forced Sterilization on Female Labor Market Outcomes (2023). Ia mencatat sterilisasi paksa menurunkan “nilai” perempuan dalam rumah tangga dan berkorelasi dengan kenaikan kekerasan domestik oleh suami. Kenaikan kekerasan terhadap perempuan yang ia temukan juga berdampak kuat pada penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan jangka panjang di level distrik sebesar 4,5 persen. Hal ini juga berkaitan dengan meningkatnya pengangguran sebesar 4,7 persen.
Baca juga: Trauma dan Kemiskinan: Bayang-bayang Keluarga Korban Femisida
Yang Kita Butuhkan adalah Pendidikan Seksual Komprehensif
Sebagai laki-laki yang secara sadar memilih melakukan vasektomi, Nur Purba Priambada atau Purbo menuturkan, pemaksaan vasektomi justru bisa mempertebal stigma soal metode kontrasepsi ini. Alih-alih menormalisasi metode pencegahan kehamilan untuk laki-laki, pemaksaan vasektomi ala Dedi Mulyadi dinilai justru bisa memunculkan anggapan yang semakin buruk terhadap vasektomi.
“Lihat bagaimana respon penolakannya itu juga sudah enggak jelas. Ada yang apakah menolak hanya karena menolak vasektominysa atau menolak karena ini bagian dari menyalahi hak asasi manusia? Jadinya semuanya berantakan,” ungkap Purbo.
Berkaca dari pengalaman, ia mengakui tak mudah membuat orang mengerti tentang pilihannya untuk melakukan vasektomi. Karena itu, Purbo menjelaskan, alih-alih memaksakan vasektomi, memberikan edukasi soal kesehatan reproduksi yang komprehensif justru lebih penting untuk dilakukan.
“Saya sendiri pun tidak pernah declare 100 persen (soal vasektomi) even ke keluarga saya. Karena saya yakin juga beberapa orang enggak nyampe untuk untuk sampai di diskusi tahap itu. Jadi menurut saya itu (pendidikan seksual) yang lebih urgent. Ketika masyarakat sudah mendapatkan edukasi dan akses kesehatan reproduksi yang ideal, tentunya mereka secara akal sehat pasti akan rame-rame untuk berantri melakukan vasektomi.”
Purbo menambahkan, edukasi ini merupakan bagian dari upaya untuk memberantas kehamilan tidak direncanakan dari kemiskinan struktural. Menurutnya, sebelum sampai ke pemberian akses vasektomi, edukasi seputar tanggung jawab anak sampai kesehatan reproduksi lah yang justru dibutuhkan masyarakat. Selama ini, warga dari kelompok miskin minim terpapar akses ini.
“Kalau orang paham itu (konsekuensi punya anak dan edukasi kesehatan reproduksi), tentunya mereka bisa berpikir ya. Jadi enggak hanya cuma sampai di banyak anak, banyak rejeki,” imbuhnya.
Senada dengan hal ini, dr. Marcia juga mengatakan, pendidikan seksual yang komprehensif sudah sepatutnya jadi prioritas ketimbang memaksakan vasektomi pada laki-laki. Mengingat isu vasektomi juga menyentuh mitos-mitos soal maskulinitas, hal seperti ini yang seharusnya dijelaskan secara detail agar laki-laki paham bahwa vasektomi bukanlah tindakan yang merugikan.
“Kalau pemerintah mau serius, sebenarnya mereka bisa mulai dengan mengkampanyekan vasektomi sebagai salah satu pilihan untuk ber-KB. Kemudian, bisa dengan meng-address kekhawatiran yang dimiliki laki-laki soal vasektomi yang sama dengan kastrasi (kebiri). Sehingga ini bisa mengalahkan mitos-mitos ya dan hoaks seputar vasektomi yang beredar di luar sana,” pungkasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
