June 23, 2025
Data Journalism Issues Multimedia Politics & Society

Saya Ngobrol dengan Pendamping Keluarga Korban Femisida: ‘Jujur Berat, tapi Kami Bertahan’ 

Mereka berbagi kisah tentang dampak emosional saat membantu keluarga korban femisida. Ini lebih dari sekadar advokasi tapi juga menghadapi trauma tak terlihat.

  • May 13, 2025
  • 8 min read
  • 6862 Views
Saya Ngobrol dengan Pendamping Keluarga Korban Femisida: ‘Jujur Berat, tapi Kami Bertahan’ 

*Peringatan Pemicu: Gambaran kasus femisida. 

Lutfi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, sering teringat adiknya setiap kali mendampingi anak-anak korban femisida. Ia bertanya-tanya, bagaimana jika adiknya yang kehilangan sosok ibu? Apakah sang adik akan berubah semuram itu, jika femisida menimpa keluarga sendiri? 

Pengalaman intens berbincang dengan keluarga korban, mengulik dokumen, dan mengawal pengusutan kasus, telah memengaruhi kesehatan mental Lutfi. “Kadang kalau lihat anak korban femisida yang mendadak jadi pendiam, langsung terbayang adik saya yang masih kecil,” ujarnya pada Magdalene. 

Nyaris setahun Lutfi dan tim LBH Jogja mengawal kasus “Murni” yang dibunuh mantan kekasih. Pelaku menjerat leher dengan tali rafia sampai kehabisan napas, lalu membuang jasad korban di Jogja. Rangkaian persidangan Murni sendiri memang sudah rampung, memutus pelaku dengan pidana kurungan, tapi trauma Lutfi masih tersisa sampai hari ini. 

Cerita serupa datang dari Dalwa, pegiat LBH Bandung yang dari Juli 2024 juga mendampingi keluarga korban femisida. Sebagai sesama perempuan, ia mengaku kerap terlarut dalam cerita kekerasan korban. Ia bahkan sampai harus mengakses layanan konsultasi psikologi di Yayasan Pulih, yang khusus melayani perempuan pembela hak asasi manusia (HAM). 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Di sanalah ia menyadari betapa seringnya “mengonsumsi luka orang lain” sambil mengabaikan perasaannya sendiri. “Ternyata, sama psikolog baru ketahuan ada perasaan yang terpendam. Selama ini, aku fokus memerhatikan orang lain, sampai aku enggak bisa memvalidasi luka sendiri,” ujarnya. 

Dalwa menyadari ada trauma sekunder dalam diri, sehingga selalu merasa tak aman berada di mana-mana. Sebagai perempuan, ia pun merasa trust issue pada orang-orang terdekat, bahkan pasangan sendiri. 

“Kamu enggak akan berubah (membunuh pasangan saat cemburu), kan?” Tanya Dalwa pada pasangan suatu hari. Pertanyaan itu menurutnya muncul dari kecemasan yang menumpuk selama setahun berkutat dengan kasus femisida. Terlebih ia belajar, latar keluarga dan pasangan yang tampak harmonis, tak jadi jaminan perempuan aman. 

Baca Juga : Sederhana, tapi Media Masih Tak Adil pada Korban Femisida: Temuan Magdalene 

Trauma Sekunder Pendamping yang Diabaikan 

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Yuni Asriyanti bilang, pendamping korban femisida sangat rentan mengalami secondary trauma dan kelelahan psikis. 

“Di wilayah tertentu, banyak dijumpai pendamping korban yang harus menempuh perjalanan jauh. Para pendamping hadir memberikan layanan, tidak digaji, bahkan mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai pendampingan yang dilakukan,” katanya kepada Magdalene. 

Ilustrasi oleh Jelita A. Rembulan

Riset Deering, R. M., et al. (2018) berjudul “The Impact of Domestic Violence on the Mental Health of Social Workers and Advocates,” juga mengamini ini. Mereka menemukan, pendamping kekerasan sering kali mengalami stres, depresi, dan kecemasan yang signifikan akibat beban emosional dari pekerjaan mereka dalam menangani kasus-kasus kekerasan.  

Beban pendamping ini semakin diperparah oleh kurangnya perspektif gender di kalangan aparat penegak hukum (APH) dan sistem peradilan. Inilah yang membuat para pendamping juga mesti repot menjelaskan berkali-kali kepada Aparat Penegak Hukum bahwa femisida tak sama dengan banyak kasus femisida masih dianggap sebagai pembunuhan biasa. Ada kekerasan berbasis gender yang melatarbelakanginya. 

Realitas kurangnya pengakuan terhadap femisida sebagai kejahatan berbasis gender di Indonesia, menjadi tantangan lain yang hingga kini masih harus dihadapi para pendamping di depan hukum. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Baca Juga : Di Balik Dapur Berita Femisida: Jurnalis Kurang Pelatihan dan Minim Empati  

Perjuangan Berat tapi Mereka Bertahan 

Kasus femisida pertama yang ditangani LBH Bandung, menurut Dalwa, relatif penuh rintangan. Dalwa harus menggali informasi sendiri tentang femisida, yang ternyata belum dikenal luas di pengadilan. 

“Waktu itu kami sampai mengirimkan Amicus Curiae—pemberian pandangan hukum—ke Pengadilan Negeri Kuningan, Jawa barat. Isinya menjelaskan femisida sebagai bentuk kekerasan berbasis gender agar hakim bisa memahaminya,” jelasnya. 

Namun, tantangan sudah muncul sejak proses awal. Di Kepolisian Resor (Polres) Kuningan, aparat enggan menyebut ini sebagai femisida, kendati korban mengalami kekerasan berbasis gender berlapis hingga dibunuh. Aparat juga tidak memberikan informasi tentang hak restitusi kepada keluarga korban. 

Yuni dari Komnas Perempuan membenarkan istilah femisida memang belum dikenal luas di Indonesia, termasuk di kalangan APH. “Pembunuhan terhadap perempuan yang merupakan eskalasi dari kekerasan berbasis gender sudah terdokumentasi lama. Namun, karena istilahnya tidak digunakan secara resmi, masyarakat hanya melihatnya sebagai pembunuhan biasa,” jelasnya lagi. 

Berbeda dengan Dalwa, Lutfi punya kesulitan sendiri saat mendampingi keluarga korban femisida. Ia harus menempuh perjalanan lima jam hanya untuk bertemu dengan keluarga korban femisida. Ia menanggung biaya transportasi, makan, dan penginapan sendiri agar tidak membebani keluarga korban. 

“Yang penting, keluarga korban mendapat keadilan. Apalagi korban ini adalah tulang punggung keluarga dan meninggalkan anak kecil,” katanya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Ketika ditanya mengapa ia tetap mendampingi kasus ini, Lutfi menjawab, “Rasa empati dan simpati terhadap perjuangan keluarga korban, apalagi anaknya masih kecil dan belum jelas masa depannya. Itu yang membuat saya tidak bisa lepas begitu saja.” 

Namun, perjuangan di lapangan tidak mudah. Menurut Lutfi, kasus ini sempat mandek selama dua hingga tiga bulan sebelum LBH Yogyakarta turun tangan. “Kalau kita tidak aktif mencari informasi, bisa-bisa kasus ini didiamkan. Baru setelah kami meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), kasus ini ditindaklanjuti,” jelasnya. 

LBH Yogyakarta sendiri akhirnya menuntut pelaku untuk membayar restitusi kepada keluarga korban. Restitusi yang diajukan mencakup biaya hidup ahli waris, kesehatan, dan pendidikan anak korban. Hasilnya, hakim mengabulkan permohonan restitusi sebesar Rp288 juta dan menghukum pelaku dengan 14 tahun penjara. 

“Kami menyertakan narasi bahwa korban memiliki anak kecil yang sangat bergantung secara ekonomi. Hal ini tidak muncul dalam kronologi kasus. Maka kami masukkan dalam permohonan restitusi. Penggunaan kata femisida menjadi celah yang cukup ampuh untuk mendapatkan perhatian hakim dan jaksa,” ujarnya. 

Baca Juga : Trauma dan Kemiskinan: Bayang-bayang Keluarga Korban Femisida

Kita Bisa Ikut Bantu Pendamping dan Keluarga Korban 

Baik Lutfi maupun Dalwa sepakat femisida harus diakui sebagai pembunuhan berbasis gender, bukan sekadar kriminalitas umum. Negara harus hadir, bukan hanya untuk korban, tetapi juga untuk mendukung pendamping yang bekerja di garis depan. 

Karena itulah Komnas Perempuan mendorong perlindungan hukum terhadap pendamping perempuan pembela HAM. “Pemerintah harus menyediakan program penguatan kapasitas, kesehatan mental, dan kesejahteraan pendamping,” ujar Yuni. 

Komnas Perempuan juga telah mengajukan beberapa rekomendasi yang dianggap krusial dalam menangani dan mengatasi masalah femisida secara lebih komprehensif.  

Pertama, mereka meminta Polri untuk melakukan pendokumentasian nasional terhadap kasus pembunuhan perempuan. Dengan mendata secara sistematis, Polri dapat memetakan penyebab dan pola femisida yang terjadi di Indonesia, sehingga dapat merumuskan langkah-langkah preventif yang lebih tepat sasaran. 

Selanjutnya, Komnas Perempuan menekankan pentingnya Polri untuk menjamin keamanan pelapor dan perempuan yang berpotensi menjadi korban. Mengingat masih banyaknya ancaman yang dialami perempuan yang melaporkan kekerasan atau yang berpotensi menjadi korban femisida, keamanan mereka perlu menjadi prioritas agar mereka merasa aman untuk melaporkan kejadian kekerasan yang menimpa mereka. 

Komnas Perempuan juga menuntut agar DPR dan pemerintah segera merevisi hukum pidana untuk mengakui femisida sebagai pembunuhan khusus, atau menjadikannya sebagai alasan pemberat hukuman bagi pelaku kekerasan. Dengan demikian, pelaku femisida akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan berat yang telah mereka lakukan, serta memberi efek jera bagi pelaku lainnya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Lebih lanjut, Komnas Perempuan juga mengingatkan media agar selalu menyajikan pemberitaan yang berperspektif korban. Pemberitaan yang tidak menyalahkan korban dan keluarganya, serta menghindari reviktimisasi atau merendahkan martabat korban, akan sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya penanganan yang tepat terhadap kasus-kasus femisida. 

Sementara peran yang bisa kita mainkan sebagi warga negara adalah mengajak orang lain untuk tidak tinggal diam. “Kita tidak bisa lagi bilang ‘itu urusan rumah tangga orang’. Diam atau kecuekan kita bisa berujung pada hilangnya nyawa. Jadilah active bystander,” tegasnya. 

 Yuni menambahkan, komentar yang menyalahkan korban di media sosial harus dihentikan. “Jangan menormalisasi kekerasan terhadap perempuan, apalagi menyalahkan korban.” 

Kami merilis rangkaian liputan soal femisida selama 4 (empat) minggu dimulai pada 21 April 2025. Tiap minggunya kami akan merilis satu laporan dengan topik berbeda. Nantikan laporan lengkap kami di website Magdalene.co.  

Ilustrasi cover artikel oleh Karina Tungari

Tim Proyek Femisida  

Pemimpin Redaksi:   

Devi Asmarani  

Redaktur Pelaksana: 

Purnama Ayu Rizky  

Editor: 

Purnama Ayu Rizky dan Aulia Adam 

Penanggung Jawab Proyek:    

Jasmine Floretta V.D  

Tim Pemantauan Media  

Amanda Andina Nugroho, Chika Ramadhea, Jasmine Floretta V.D, Siti Hajar, Syifa Maulida  

Reporter/ Periset:   

Jasmine Floretta V.D, Syifa Maulida, Ahmad Khudori     

Desainer Grafis:   

Jelita Rembulan, Della Nurlailanti Putri  

Media Sosial:   

Sonia Kharisma Putri  

Product and Program Development Coordinator:  

Siti Parhani  

Community Engagement:  

Siti Hajar  

Analis Data:  

Wan Ulfa Nur Zuhra (IDJN) 



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.