Lifestyle

Ketimpangan Besar di Balik Layar Lebar, Refleksi Menonton Sinema Akhir Tahun

Meski sejumlah film lokal akhir tahun ini punya konten tak kalah bagus dibanding film-film Hollywood, masih banyak penonton yang lebih memilih menghabiskan duit untuk opsi kedua.

Avatar
  • December 20, 2021
  • 6 min read
  • 280 Views
Ketimpangan Besar di Balik Layar Lebar, Refleksi Menonton Sinema Akhir Tahun

Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pandemi selesai. Namun satu hal yang pasti, kita semua ingin cepat move on. Semenjak pandemi, hal-hal sekecil seperti belanja di supermarket, nongkrong dengan teman, atau nonton ke bioskop menjadi sebuah privilege. Banyak orang yang sudah siap untuk kembali beraktivitas dengan normal (karena sudah vaksin, menaati protokol kesehatan, dan lain sebagainya), tapi tidak sedikit juga yang masih parno.

Semenjak Maret 2020, nasib perfilman Indonesia memang lumayan senyap. Dan, tidak ada yang lebih menggembirakan dari saat muncul lagi  film-film anyar garapan pembuat film dalam negeri  di bioskop. Rasanya hampir seperti dulu lagi. Yang juga membuat pengalaman ini menjadi ekstra-menyenangkan, film-film yang akhir-akhir ini bermunculan adalah film-film yang sudah digadang-gadang menjadi tontonan bagus. Yang sudah saya tonton, seperti Paranoia, Losmen Bu Broto, Yuni dan Seperti Dendam, Rindu Juga Harus Dibayar Tuntas, tidak hanya mengobati rasa kangen saya terhadap film-film Indonesia, tapi juga film-film yang berkualitas (soal Paranoia, mungkin kita bisa bicara lebih panjang lain kali).

 

 

Sensasi ini tidak hanya terbatas film lokal saja. Film luar (baca: Hollywood) pun juga begitu. Sebenarnya selama ini film-film luar sudah nongol di bioskop, tapi mungkin memang baru Spider-Man: No Way Home yang benar-benar menggebrak layar lebar. Jika ditilik sebelumnya, Eternals bisa dibilang mempunyai potensi untuk membuat semua orang pergi ke bioskop kalau saja film itu dirilis tepat waktu (rilis di Indonesia telat) dan kalau adegannya tidak dipotong-potong (semua adegan ciuman di film tersebut digunting Lembaga Sensor Film yang membuat penggambaran karakter homoseksual di dalamnya menjadi “hilang” kalau penontonnya tidak jeli membaca adegan). 

Baca juga: Riset Menjawab Kenapa Kita Bisa Ketagihan Nonton Netflix

Ada beberapa alasan kenapa Spider-Man: No Way Home terasa benar-benar seperti sebuah event yang besar. Pertama, film ini sudah digadang-gadang menjadi seri Spider-Man yang paling heboh karena banyaknya materi dan “rahasia” yang bocor, bahkan sebelum filmnya rilis. 

Kedua, ini kedua kalinya Spider-Man berhubungan dengan karakter Marvel Cinematic Universe (MCU) lain selain Iron Man di film pertamanya (Homecoming). Dalam Spider-Man: No Way Home, Spider-Man meminta bantuan Doctor Strange untuk mengubah sedikit nasib yang menimpanya, yang tentu saja menjadi katalis konflik utama filmnya. 

Ketiga, Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menonton film ini secara real time (Amerika baru merilis film ini secara reguler dua hari setelah penayangan resmi di Indonesia). Tidak mengherankan hype yang dibangun Spider-Man: No Way Home sangat berhasil. Oh, dan keempat, karena semua kejutan yang ada di dalam filmnya memang membuat semua pecinta Spider-Man kesenengan setengah mati.

Saya sendiri sebagai pecinta film merasa senang sekali akhirnya bioskop benar-benar dipenuhi penonton. Rasanya kembali seperti dulu lagi. Mendengar orang-orang berteriak, tertawa bareng, dan jejeritan bersama ternyata mengingatkan saya bahwa sensasi menonton di bioskop itu tak tergantikan (selain kesempatan untuk menyaksikan film dengan teknis audio visual yang bagus tentunya). Namun di tengah keriuhan itu, ada sedikit senyum getir. Kegetiran itu disebabkan karena dengan hadirnya Spider-Man: No Way Home, layar-layar yang tadinya menghiasi poster film-film Indonesia kini digantikan dengan wajah Tom Holland.

Film Lokal versus Film Hollywood

Sebenarnya, sudah jadi rahasia umum kalau film Indonesia hampir selalu mendapatkan perlakuan tidak fair dari ekshibitor. Film Indonesia harus berhasil mendapatkan sekian penonton (saya tidak tahu angka pastinya) agar dia tetap bertahan di layar. Kalau dia memenuhi ekspektasi, ya jumlah layarnya mungkin tidak akan berubah. Kalau dia melebihi ekspektasi, tidak heran kalau jumlah layarnya bertambah. Namun, tidak jarang film Indonesia langsung berkurang jumlah layarnya beberapa hari setelah film tersebut rilis. Alasannya jelas: Kurang banyak pasang mata yang menonton film tersebut di bioskop.

Baca juga: ‘Yuni’: Film ‘Coming of Age’ Feminis yang Soroti Pernikahan Anak

Seperti yang saya jelaskan di atas, saya sendiri sangat senang melihat bioskop ramai lagi. Kalau saya jadi pemilik bioskop, memutuskan untuk menurunkan layar film Indonesia dan menambah layar Spider-Man: No Way Home, yang sudah jelas-jelas akan menarik penonton, adalah keputusan bijak secara ekonomi. It makes sense.

Dan, di sinilah saya mau jelaskan kenapa tadi saya sempat bilang “tidak fair”.

Karena film lokal Indonesia dan film luar belum bisa compete di balapan yang sama.

Okelah, secara kualitas mungkin kita bisa compete. Kita juga bisa compete dari segi konten. Mau berapa juta dolar pun uang yang dikeluarkan oleh Hollywood, mereka tidak akan bisa memproduksi konten yang sangat lokal seperti Yuni atau Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. 

Namun, secara promosi? Kita kalah jauh.

Film luar menghabiskan puluhan juta dolar (bahkan ratusan) untuk memastikan bahwa semua orang di seluruh penjuru dunia tahu produk yang sedang mereka buat. Apalagi, kalau film yang mereka buat berdasarkan intelectual property yang sudah sangat terkenal seperti Spider-Man atau yang lainnya. Tanpa mereka mengeluarkan effort lebih banyak, separuh tugas mereka sudah selesai hanya dengan membuat teaser yang biasanya muncul di end credits film sebelumnya.

Di sisi lain, film Indonesia (terlepas bagaimanapun kualitasnya) sudah ngos-ngosan sejak urusan bujet produksi. Kalau sebuah film punya bujet promosi, sudah pasti anggaran film tersebut lumayan mumpuni. Namun, itu pun masih perlu dicek lagi. Jenis bujet promosi apa saja yang mereka punya? Media sosial doang? Atau termasuk media cetak, TV, dan billboard

Dua produk yang sangat berbeda ini kemudian bertanding di ring yang sama. Kita tidak perlu membahas siapa pemenangnya. Pasalnya, sering kali saya merekomendasikan sebuah film Indonesia yang menurut saya oke ke seorang teman, dan beberapa hari kemudian, teman saya bilang film tersebut sudah hilang dari peredaran (atau hanya tayang di daerah-daerah yang jauh). 

“Jadi, lo nyalahin penonton, Can?”

Sama sekali tidak. 

Justru saya paham sekali kenapa penonton lebih milih untuk menonton Spider-Man: No Way Home daripada film Indonesia. Menonton Spider-Man: No Way Home punya garansi yang jelas: Sensasi sinematik yang luar biasa, menuntaskan fear of missing out (FOMO), dan hiburan yang menyenangkan. 

Harga tiket nonton di Indonesia itu masih termasuk mahal bagi banyak orang. Mereka mesti mengeluarkan uang kira-kira 35 ribu, belum termasuk transportasi dan jajan. Untuk banyak orang, nonton film di bioskop sekali itu termasuk biaya makan selama dua hari di rumah untuk sekeluarga. Jadi ya, tidak mengherankan kalau sekalinya mereka pergi ke bioskop, milihnya film yang sudah jelas kualitasnya. 

Balik lagi ke sinema Indonesia. Menurut saya, sudah waktunya kita punya sistem (yang diatur oleh negara kalau bisa) di mana film lokal Indonesia juga punya kesempatan untuk mencari penontonnya. Sebagus apa pun produknya, kalau sistem pemutarannya seperti ini, ya menyedihkan juga. Banyak film Indonesia yang menawarkan hal-hal baru dan seru, tapi ya sekali lagi, tidak bisa compete dengan si manusia laba-laba. Tidak sedikit film Indonesia yang butuh word of mouth. Dan, bagaimana bisa film Indonesia mengumpulkan ini semua kalau baru beberapa hari saja sudah turun layar?

Karena jujur saja, karakter-karakter seperti Yuni, Ajo Kawir, Bu Broto harusnya bertemu dengan penontonnya.

Beberapa film lokal yang disebutkan di atas masih bisa disaksikan di bioskop-bioskop Indonesia.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *