Perempuan Dayak Lawan Tambang Batu Bara dengan Kebun Cabai

Di tengah krisis iklim yang kian parah, transisi energi ke sumber yang lebih ramah lingkungan adalah niscaya. Namun di Indonesia, ada sejumlah daerah yang ekonominya sudah terlanjur bergantung pada batu bara. Salah satunya Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim).
Jika masa tambang batu bara berakhir, warga akan terancam kehilangan pekerjaan.
“Kami untuk sekarang kan bergantung sekali dengan tambang ya. Karena kan cuma tambang yang ngasih kami penghasilannya besar…” – Aulia, 31 tahun.
Namun, di tengah dilema itu, sekelompok perempuan adat suku Dayak Basap di Desa Tebangan Lembak, tak patah arang. Mereka merintis harapan baru dari halaman rumah sendiri.
Dengan mengubah pekarangan menjadi kebun cabai, perempuan-perempuan ini tak hanya menghasilkan cuan, tetapi juga menunjukkan bahwa pertanian berkelanjutan bisa sejalan dengan tradisi lokal. Inisiatif mereka menjadi inspirasi, terutama bagi komunitas di sekitar tambang yang ingin mencari sumber ekonomi alternatif.
Baca juga: Di Mana Ada Tambang Nikel, Di Situ Perempuan Jadi Korban
Ketimpangan Ekonomi di Daerah Tambang
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, hampir 40 persen ekonomi Provinsi Kalimantan Timur bergantung pada sektor tambang batu bara.
Kutai Timur dan Kutai Kartanegara menjadi kabupaten yang paling bergantung pada sektor ini. Tambang di Kutai Timur bahkan menyokong hampir 75 persen dari total produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten.
Namun, kontribusi besar sektor ini tidak serta-merta menjamin kesejahteraan masyarakat sekitar. Pada 2024 misalnya, Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kutai Timur justru berada di peringkat pertama dan ketiga daerah termiskin di Kaltim.
Jadi, alih-alih sejahtera, banyak warga harus berhadapan dengan kerusakan lingkungan dan kehilangan mata pencaharian tradisional. Hal ini terutama dirasakan oleh kelompok perempuan, yang sering terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak terlibat dalam sektor pertambangan.
Sejak hutan berubah menjadi lubang tambang, komunitas Dayak Basap—yang dulunya menggantungkan hidup pada hutan—kehilangan ruang hidup dan dipaksa beradaptasi agar bisa bertahan hidup.
Banyak kaum laki-laki terpaksa beralih menjadi buruh tambang, sementara perempuan, mencoba bertahan dengan cara lain seperti mengajar, membuka usaha kecil, dan kini bertani cabai.
Baca juga: Sejarah Tambang Nikel, Si Ancaman Ekologis di Raja Ampat
Bertani Cabai: Simbol Perlawanan dan Ketahanan
Para perempuan Dayak Basap memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam cabai, sebagai sumber ekonomi alternatif. Komoditas ini dipilih karena masa panennya cepat dan permintaannya tinggi, serta berpengaruh pada inflasi lokal.
Inisiatif ini merupakan proyek percontohan dari tim Just Transition Indonesia yang dimulai pada 2024 bersama Universitas Parahyangan dengan dukungan Energi Muda, LSM lokal yang fokus dengan isu transisi energi.
Di atas lahan 700 m², masyarakat setempat diajarkan menggabungkan pertanian tradisional dengan metode permakultur modern, termasuk menggunakan kompos dan rotasi tanaman. Anak-anak muda lokal juga dilibatkan sebagai penggerak, untuk memperkuat komunitas dalam transisi pasca-batu bara.
Hasilnya cukup menjanjikan. Dengan dukungan ilmu dan teknologi pertanian dari startup HARA, perempuan adat suku Dayak Basap berhasil menangani kendala tanah asam dan air yang tercemar akibat tambang, saat melakukan pembibitan. Bahkan, hasil panen mereka melampaui metode pertanian konvensional yang pernah diuji sebelumnya.
Mereka juga belajar menjual hasil panen langsung ke konsumen seperti restoran dan produsen kerupuk, tanpa perantara tengkulak atau pengepul. Ini memperkuat posisi tawar dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Kolaborasi antara pengetahuan tradisional dan inovasi modern terbukti bisa mengangkat kapasitas komunitas adat sekaligus memberikan manfaat ekonomi nyata bagi mereka.
Namun, jalannya tentu tidak mudah. Lahan bekas tambang perlu waktu lama untuk pulih. Tanah asam dan air yang tercemar logam berat menjadi tantangan. Akses alat dan pupuk yang terbatas juga menjadi hambatan. Dalam beberapa kasus, masyarakat harus membeli bibit yang sudah tumbuh agar proses tanam bisa lebih cepat.
“Program tanam cabai ini sudah sangat bagus sekali..Cuman keadaan tanah sih kemarin tuh yang enggak memadai dan sulit untuk diperbaiki.. Kalau ada kesempatan, mungkin kita bisa coba bertani yang enggak sekali musim saja..”
Selain itu, transisi dari pola tanam berpindah ke sistem pengelolaan jangka panjang memerlukan pelatihan yang berkesinambungan. Adaptasi semacam ini tentu tidak bisa dilakukan dalam semalam dan memerlukan pendampingan yang intensif.
Transisi Energi Berkeadilan
Inisiatif seperti ini memberi banyak pelajaran.
Pertama, transisi energi harus melibatkan masyarakat lokal, khususnya perempuan, sejak awal.
Kedua, pendekatan kolektif berbasis komunitas terbukti lebih menjanjikan keberlanjutan dibanding program top-down yang seringkali tidak menyentuh kebutuhan nyata di lapangan.
Ketiga, dukungan kebijakan perlu diarahkan pada inisiatif akar rumput seperti ini. Jangan hanya fokus pada pencapaian target angka transisi, tapi juga pada keadilan sosial dan ekologi.
Dalam konteks global, Indonesia telah menyatakan komitmen melalui Paris Agreement dan skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun komitmen ini perlu dibumikan dengan memerhatikan masyarakat—terutama perempuan adat dan komunitas terdampak.
Transisi energi yang adil memerlukan langkah bertahap, dukungan program yang terarah, kemitraan inklusif, dan komitmen nyata dari semua pihak.
Perjalanan perempuan suku Dayak Basap membuktikan bahwa di wilayah yang bergantung pada batu bara, transisi energi yang adil itu mungkin terjadi. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada seberapa kuat dukungan yang diberikan dan apakah ia benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat serta dipimpin oleh komunitas lokal yang kuat.
Aidy Halimanjaya, Assistant lecturer, Universitas Katolik Parahyangan and Priscillya Hotma, Research Assistant, Universitas Padjadjaran.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
