‘Pembantaian Dukun Santet’: Histeria Horor yang Diangkat dari Kisah Nyata

Film Pembantaian Dukun Santet (2025) karya Azhar Kinoi Lubis menempatkan horor bukan semata pada sosok hantu atau teror supranatural, melainkan pada peristiwa nyata yang pernah mencabik masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya pada akhir 1990-an.
Lewat tokoh Satrio (Kevin Ardilova), seorang santri yang menyaksikan satu per satu teman sesama santri beserta kyai diteror oleh kekuatan gaib, dan menemukan bahwa di luar dinding pesantren, ternyata ayahnya juga diburu oleh kelompok bertopeng hitam. Film ini membawa kita menyusuri lorong gelap sejarah nasional yang kerap dilupakan.
Baca juga: Betulkah Gen Z Akan Membunuh Sinema?
Horor yang Tidak Baru
Secara formula, Pembantaian Dukun Santet tidak menawarkan banyak inovasi dalam gaya visual dan narasi horor Indonesia. Suasana gelap, sosok hantu dengan make-up berat, serta elemen mistis—semua itu terasa familiar. Hantunya bahkan terasa sekadar pelengkap: Tidak benar-benar menjadi pusat teror, melainkan sebagai penanda adanya sumber ketakutan yang lebih besar.
Dalam konteks ini, KKN di Desa Penari (2022) adalah salah satu contohnya. Ia juga menempatkan makhluk halus sebagai “alarm” akan kesalahan manusia atau rahasia kelam yang lebih dalam. Namun, mereka tetap bersandar pada hantu sebagai elemen utama kengerian. Pembantaian Dukun Santet justru menahan diri dari formula itu dan memilih membangun ketegangan melalui atmosfer sosial yang mencekam.
Namun, karena film ini tidak menumpuk efek horor konvensional secara berlebihan, ruang bagi penonton untuk menyadari akar sejarah kekerasan yang diangkat menjadi lebih terbuka. Kengerian dalam film ini tidak datang dari dunia gaib, tetapi dari kegilaan dunia nyata; terutama bagaimana prasangka, fitnah, dan ketakutan bisa melahirkan kekerasan massal yang sulit dinalar.
Poin ini bikin Pembataian Dukun Santet secara nuansa lebih dekat dengan The Witch (2015). Tentu, dengan derajat keberhasilan dan capaian artistik yang berbeda. Namun, yang sama adalah ketegangan muncul bukan karena setan, melainkan rasa takut, penghakiman, dan kekerasan struktural yang dilakukan manusia sendiri. Penonton dibuat ngeri bukan karena sosok gaib yang muncul tiba-tiba, tetapi karena kenyataan bahwa manusia bisa berubah menjadi algojo atas dasar keyakinan yang dibentuk oleh ketakutan bersama.
Baca juga: ‘Perang Kota’, Set Mewah, dan Ambisi “Film Perjuangan” yang Meleset
Ketika Histeria Menjadi Mesin Pembunuh
Film ini mengambil inspirasi dari tragedi nyata yang dikenal sebagai Geger Dukun Santet di Jawa Timur pada 1998. Dalam situasi sosial yang labil menjelang kejatuhan Orde Baru, beredar rumor tentang dukun santet yang meresahkan masyarakat. Pemerintah daerah justru memperkuat histeria ini dengan perintah mendata “orang berilmu supranatural”—data yang kemudian bocor dan memicu pembunuhan massal.
Kelompok yang disebut sebagai “ninja” menyerang para korban, baik dukun sungguhan maupun bukan, dengan cara brutal. Data dari Komnas HAM mencatat lebih dari 300 korban tewas. Kebanyakan pelaku tidak pernah diadili, dan motif di balik pembantaian ini masih menjadi misteri: apakah murni karena ketakutan kolektif, atau ada operasi tersembunyi untuk menstabilkan kekuasaan melalui pengalihan isu?
Film ini memilih tidak menjawabnya secara gamblang—pun saya juga tidak yakin apakah ada niat itu saat membuatnya. Tapi justru dalam kesenyapan itu, muncul ruang horor yang jauh lebih meresahkan: Horor bahwa sejarah itu sendiri bisa dihapus, ditutup, dan hanya kembali menghantui lewat mimpi buruk.
Satrio menjadi pintu masuk naratif yang efektif. Ia bukan korban langsung, melainkan saksi yang perlahan menyadari bahwa teror yang ia saksikan tidak berdiri sendiri. Dalam penyelidikannya, ia menemukan bahwa keluarganya punya masa lalu yang berkelindan dengan peristiwa ini.
Motif balas dendam dukun santet di akhir cerita memang membawa kita ke wilayah fiksi supranatural, tetapi penonton telah cukup dibekali untuk memahami bahwa akar horornya tetap manusiawi: Dendam sosial dan pelurusan sejarah.
Baca juga: Apa Bedanya ‘Mendadak Dangdut’ 2025 dan Pendahulunya?
Menarik pula bahwa film ini memilih pesantren—institusi yang biasanya diasosiasikan dengan perdamaian dan spiritualitas—sebagai lokasi kekerasan. Dengan begitu, film ini menyoroti bagaimana institusi sosial sekalipun tidak kebal terhadap penetrasi teror dan kekerasan kolektif. Bahkan di tempat suci pun, ketakutan bisa menjangkiti nalar, dan prasangka bisa mengalahkan prinsip keadilan.
Pembantaian Dukun Santet bukan film horor luar biasa secara artistik. Namun, ia penting karena berhasil menggali dan mempopulerkan salah satu sejarah gelap Indonesia yang jarang dibicarakan.
Dengan tidak menjadikan horor supranatural sebagai pusat, film ini justru membuka diskusi tentang kekerasan berbasis stigma, sejarah yang dihapus, dan bagaimana masyarakat bisa membiarkan pembantaian terjadi atas nama keamanan.
